Memaknai arti petualangan dan hidup bersama Hari Resofianto

"Menjadi Manusia"

Tuhan yang maha esa itu sungguh ajaib. Ia menciptakan segala sesuatunya indah dan luar biasa. Samudera yang luas dengan ikan-ikan yang berenang di dalamnya, langit biru dengan matahari, bulan dan bintang sebagai pelengkapnya. Termasuk para manusia dengan segala hati serta tabiatnya.  Manusia dengan maksud dan tujuan penciptaanya.

Ya, menyelami hakekat sebagai manusia sejatinya adalah mengurai maksud dan tujuan hidup pada masing-masing insan, yang akan tergambar jelas dari raut dan garis wajah setiap kita. Termasuk pada sosok hebat berikut, Hari Resofianto. Seorang pecinta alam dan petualang kawakan yang memiliki jiwa sosial. Seorang yang telah berguru banyak pada alam, yang mencari maksud dan hakekat hidup sebagai manusia.


Hari Resofianto. Petualang.
Sumber : Hari Resofianto

Mari berkenalan lebih dalam lagi dengan Mas Reso, begitu ia biasa dipanggil. Ya, dalam dunia kepecinta alaman. Memanggil seorang senior atau kerabat yang lebih tua dengan sebutan mas, untuk laki-laki, adalah suatu tradisi dan aturan tidak tertulis yang wajib dipatuhi. Uniknya, meski telah berusia lanjut, penggunaan panggilan mas tetap dipergunakan. Termasuk untuk Mas Hari Resofianto yang kini telah berusia 59 Tahun, yang lahir pada 15 november 1961 silam.

Mas Reso telah aktif berkegiatan di alam terbuka sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika itu melalui kegiatan Pramuka,  ia tekun mengasah kemampuannya  berkegiatan di alam terbuka. Mulai dengan kegiatan perkemahan yang dilaksanakan pada hari sabtu dan minggu atau biasa disebut dengan Persami (perkemahan sabtu minggu). Bahkan, untuk kali pertamanya ia mampu mendaki Gunung Lanang Wedon yang berada di kaki Gunung Arjuno. Hebatnya, pendakian itu dilakukan Ketika ia masih di sekolah dasar.

Berkegiatan di alam bebas berlanjut Hingga ke Sekolah menengah pertama, sampai sekolah menengah atas, dengan tetap aktif berkegiatan bersama pramuka. Uniknya, ketika berada di sekolah menengah atas, selain bergabung bersama Pramuka, beliau juga  turut serta dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh siswa pecinta alam Bhawikarsu BX4 SMA negeri 3 malang, bahkan sempat menjabat sebagai ketua dari perhimpunan siswa pecinta alam tersebut.

Bergabung bersama TMS7

Aktif menjadi petualang bersama pramuka dan sispala, nyatanya tak membuat rasa penasaran, keingintahuan dan kecintaanya pada alam berpuas diri. Hingga pada tahun 1978 Mas Reso memutuskan untuk bergabung bersama Organisasi Pecinta Alam TMS7 (Top Mountain Stranger). Meski pada awalnya ia tidak tertarik untuk bergabung. Ia beralasan bergabung bersama klub atau organisasi pecinta alam tidak memiliki jenjang keanggotaan yang jelas,  selain itu ia merasa kalau pramuka memiliki kajian keilmuan yang lebih, dibandingkan klub atau organisasi pecinta alam.  

Akan tetapi, karena “lihainya” bujuk rayu dari kakak-kakak senior di TMS7, kobaran jiwa dan semangat muda Mas Reso pun akhirnya luluh juga dengan mengiyakan ajakan tersebut. Para senior berdalih, bahwa ia akan diperkenalkan dengan olahraga terjun payung, yang pada waktu itu sedang booming-boomingnya. Dengan syarat harus bergabung bersama kelompok pecinta alam TMS7.

Akhirnya setelah bergabung, dan menyelesaikan serangkaian  Pendidikan di TMS7, Mas Reso pun disahkan sebagai anggota TMS7 di puncak Gunung Semeru, dan mendapatkan nomor keanggotaan NRP S-90 tahun 1978 yang di ambil di puncak Gunung Panderman.

Namun setelah bergabung bersama TMS7, ternyata banyak pengetahuan dan ilmu baru yang didapat oleh Mas Reso. Ia pun tak sungkan-sungkan untuk membagikannya. Bahkan, ketika merangkap jabatan sebagai ketua umum  TMS7 dan siswa pecinta alam BX4 SMA negeri 3 malang, ia sering melakukan sharing materi dan keilmuan. Salah satunya melalui kegiatan rapelling, yang waktu itu masih menggunakan tali dadung dan carabiner, yang konon menurutnya sangat “kuno” dibanding carabiner sekarang. Namun hal itu tak menyurutkan semangat dan giatnya berlatih keterampilan tali temali, yang kala itu dilakukan di pelor, jembatan lori di Oro-oro Dowo, yang sekarang berubah menjadi jalan Brigj. Slamet Riadi, Kota Malang.

Mas Reso pun bercerita banyak tentang perbedaan peralatan dan teknologi pendakian era 70’an dibanding kini, saat di hubungi via daring. “Saya pribadi tidak mengenal atribut pendakian secara baik. Mulai dari sepatu yang layak buat mendaki itu seperti apa, jaket yang standart pun bagaimana. Karena jaman dulu kita ndaki bisa dibilang kurang pengetahuan karena minimnya buku-buku tentang  pendakian” balasnya via pesan singkat.

“Kita dulu mendaki pakai sepatu tentara atau yang paling  bagus pakai sepatu warrior, jaket tentara korea, kaos tangan pramuka yang tipis, tenda juga buatan sendiri dari bekas karung terigu segitiga biru”

“Pakai baju dan celana rangkap tiga, karena belum ada SB (Sleeping Bag). Bawa kompor kuningan yang cukup berat, selain harus bawa minyak gas, juga harus bawa spirtus untuk memanasi agar bisa menyala. Selain itu bawa velt ples tentara karena belum ada botol air mineral seperti saat ini” imbuhnya.

Yang lain dari Getah Damar :

Dari pengalaman yang diceritakan, dapat dibayangkan keadaan pendaki pada masa  itu. Serba terbatas namun tak pupus semangat dan kreatifitas dalam bertualang, meski harus berkegiatan dengan peralatan yang dibuat dari bahan seadanya. Bisa dibayangkan, bila pendaki era kini diminta untuk mencoba Kembali peralatan pendakian di era dulu, pasti mereka akan kesulitan dan merasa tidak nyaman. Atau mungkin, bisa jadi mereka akan berhenti mendaki. Maka bersyukurlah kita, yang kini karena berkat kemajuan jaman dapat menikmati pendakian dengan peralatan yang jauh lebih baik dibandingkan  dulu.

Evakuasi jenazah Jono dan Kelik dan titik balik hidup

Pada januari 1984 adalah peristiwa memilukan bagi Mas Reso dan segenap keluarga besar BX4 SMAN3 Malang. Karena tepat pada saat itu, peristiwa nahas menimpa dua orang anggota mereka, almarhum Jono dan Kheliq, yang harus berpulang terlebih dahulu di lereng Semeru.

“11 Januari 1984 saya mengambil jenasah adik kelas SMAN 3 Malang yaitu Jono & Kheliq di arcopodo Semeru.” Balasnya singkat pada gawai.

“Dan 16 Juli 1984 saya berinisiatif mengajak teman-teman Bhawikarsu X4 yang sudah lulus untuk memasang monumen ditempat meninggalnya Jono, karena beberapa meter dari titik itu, Kheliq meninggal dengan memeluk pohon pinus. Setelah pemasangan monumen karena shock, saya berhenti mendaki. Tetapi jiwa dan raga tetap suka dengan alam terbuka, jadi cuma main saja ke beberapa  lereng gunung untuk menikmati alam sambil ngopi bareng pacar yang saat ini sudah menjadi istri saya Farida Hariyani” sambung sosok yang juga salah satu inisiator berdirinya Keluarga Mahasiswa Pecinta Alam Universitas Gajayana Malang tahun 1985 (KAPA’85).

Mas Reso dan rekan sesama BX4 SMAN 3 Malang
Sumber : Hari Resofianto

Bersama Monumen Jono & Khelik
Sumber : Hari Resofianto


Jito, Saudara Kandung Alm Jono
Sumber : Hari Resofianto


Meski sempat mengalami trauma akibat peristiwa tersebut, perlahan Mas Reso mulai memberanikan diri untuk mendaki kembali. Bahkan ia mampu mencapai puncak Gunung Semeru, pada 16 juli 2019. Luar biasanya, puncak tersebut terakhir kali di jejaknya pada 16 juli 1984, atau kurang lebih selama 35 tahun tidak mengapainya lagi. Sungguh, sebuah keberanian dan kebulatan tekad yang luar biasa dari Mas Reso untuk melawan trauma yang dialaminya.

Di puncak Gunung Semeru setelah 35 tahun
Sumber : Hari Resofianto

“ikut pecinta alam ternyata selain bisa memperkaya diri, dan menambah wawasan tentang alam, ternyata banyak hal yang bisa didapat selain itu. Seperti saat berada di semak belukar gunung, apalagi ketika mencapai puncak, kita bangga bisa mencapai tujuan tersebut. Bahkan kita bisa intropeksi diri bahwa sebenarnya kita ini kecil dibanding dengan Sang Pencipta, dan kita  adalah mahluk yang tidak  bisa apa-apa. kita bisa apapun karena ada yang membisakan, menggerakkan, dan meridhoi yaitu Allah SWT. Dan ini menjadi kekuatan pribadi kita ketika bekerja dengan berbagai teman, kustomer, anak buah, dan keluarga yang bermacam karakter, tentu kita lebih tegar menghadapinya. Karena seperti motto TMS7 yaitu pantang takabur, tabah sampai akhir sama seperti KAPA’85” ujarnya penuh semangat.

Ya, sebagaimana mestinya manusia, kita harus menelaah lebih dalam terhadap segala hal yang terjadi dalam hidup. Kita harus memperbesar hati, rasa dan karsa untuk dapat mempertajam makna dan maksud di dalamnya. karena sebagai manusia sejatinya kita harus memanusiakan manusia,. Sama halnya seperti yang Mas Hari Resofianto lakukan.

mengingat Kembali sepotong bait puisi dari sastrawan dan petualang Indonesia. Soe Hoek Gie.


“…Nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan

Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda

Dan yang tersial adalah berumur tua

Berbahagialah mereka yang mati muda.”

 

Bukan pada arti mati muda jauh lebih baik dibanding mati saat berusia tua. Akan tetapi lebih berbicara pada seberapa dalam dan seberapa berartinya kita memberi nilai pada hidup. lantas, sudah kah kita memaknai hidup dan berguna bagi manusia lainnya?

Salam.

Comments

  1. Sedih pas baca cerita evakuasi jenazah teman sendiri.
    Ekskul pecinta alam memang sangat positif jika dikelola dengan sepenuh hati dan serius dengan safety.
    Di sekolahan saya, ekskul itu kadang diberi pengarahan oleh SAR setempat.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iya betul kak, saya juga merasa sedih saat beliau menceritakan peristiwa tersebut. Sungguh sebuah loyalitas, kesetiakawanan dan kekeluargaan yang erat terasa diantara mereka.

      Delete
  2. Jadi keinget cerita Soe Hok Gie, aku dulu melahap habis buku cerita Soe Hok Gie. Parah sih petualangan tapi juga di saat seperti itulah rasa persaudaraan diuji. Aku paling jauh hanya sampai ke Ranukumbolo meski tinggal di Malang karena belum siap mengalahkan ketakutanku.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya kak, Gie juga salah satu idola saya. Buku yang berjudul Soe Hoek Gie Sekali Lagi pernah saya baca. Dan buku tersebut terasa sekali bahwa Ia seseorang yang membekas bukan hanya bagi rekan kerabat dan sahabatnya, namun juga Indonesia.

      Delete

Post a Comment

terimakasih telah membaca tulisan ini, saya sangat senang bila anda berkenan meninggalkan jejak. salam

yang lain dari getah damar