cerita Pendek ; Burung-burung dan rumah yang menari
"Wanita yang Aneh"
Ia selalu saja mengikuti.
Menyebalkan bukan? Terakhir ia menggunakan baju merah maroon, saat aku berjalan
menyusuri kota yang bising dengan lalu-lalang kendaraan. Aku berdehem, kemudian
menghentikan langkahku sejenak. Kutatap kuat awan-awan kelabu yang pekat di
udara.
“ah, dia masih saja membuntuti” aku
mengerutu seorang diri. Kuseka lagi aliran peluh yang mulai menetes karena
nyala terik matahari.
Aku kembali berjalan, ia pun kembali mengikuti
langkah kakiku yang lemah menyeret bayang-bayangku sendiri. Menyebalkan bukan?
Melihat seseorang mengkopi setiap gerakaanmu yang hanya menyisahkan rasa risih
dan gusar.
Minggu lalu saat kopi pertama
kupesan dikedai ujung jalan, gadis itu kembali melakukan hal yang sama. Ya, sama
menyebalkannya dengan hari ini. Ia selalu mengganggu, tingkahnya seperti anak
kecil yang centil, clingak-clinguk menatapku. Tangannya terlipat kebelakang sambil
berjalan mundur. Terkadang dengan kaki kecilnya, ia menari-nari dan melompat
kesana kemari. Seperti bola kasti yang terpental. Acak dan kacau. Lantas aku pun
hanya bisa menunduk dengan sabar dan diam.
“ayo main lagi ?” pintanya.
Aku menunduk dan menghela, lalu kudesiskan
nafasku. Kubuat agar terlihat lelah di
hadapannya. Padahal, hal itu kulakukan hanya untuk menutupi rasa malasku
terhadapanya. Bagaimana tidak, hampir satu kali dua puluh empat jam aku harus
bergumul dengan gadis tengil ini. Dan hampir satu kali dua puluh empat jam, ia
selalu memintaku untuk menemaninya bermain. Lelah, sangat lelah. Aku tak bisa
menuruti permintaanya setiap waktu. Jika aku mengiyakan, bisa-bisa kopi panas
yang ada dihadapanku ini akan diam teronggok dan basi. Dan bisa saja rasa pekat
kopinya akan terasa hambar di lidah.
“kenapa diam? Kau terlihat murung”
“tidak, aku hanya sedang
menghemat tenagaku, lagi pula, aku sudah tidak tertarik lagi” jawabku ketus.
“tapi bukankah, kau menyukainya?”
“dulu, boleh saja aku
menyukainya. Tapi untuk sekarang cukup, aku lelah. Bermain bola-bola, tahan
nafas, dan permainanmu yang lainnya itu
menguras tenagaku ”
“ah, kau bukannya lelah, kau
hanya bosan. Benarkan?”
“ terserah apa katamu.”
“oke, aku tahu kalau kau bosan.
Baiklah aku akan bermain seorang diri” dengan bibirnya bersungut ia pergi
mengacuhkanku, kemudian lenyap ditengah keramaian dan hilang tak bersuara.
Sejenak aku menghela nafas,
kupandangi lagi bayang - bayang wajahku pada layar gawai yang samar-samar
tampak. Kantung mata yang mulai mengendor, dan warna hitam yang melingkar,
cukup mengisyaratkan bahwa aku benar – benar kacau.
![]() |
Sumber : Pixabay |
Aku mendesis lagi. Berusaha
merasakan aliran nafas yang terasa sengal dan sesak di dadaku. Yang perlahan menyayat dan menyakiti. Sementara
itu jam dinding berdetak tepat pukul
tiga sore saat aku tiba-tiba saja menoleh kepadanya. Dan tak ada semilir angin
yang berhembus kala itu, selain musik kedai yang diputar datar dan sayup-sayup
terdengar. Memang tidak terlalu keras namun
menjadi semacam musik pengiring yang tenang untuk bersantai. Akan tetapi tetap
saja aneh, aku tidak bisa merasakan ketenangan dari bunyi-bunyian itu.
“mungkin Blues?”
“ah, bukan bosonova jazz kah?”
aku menerka-nerka sendiri irama musik yang
sedang di putar. Sambil kupejamkan mataku dan sedikit mengangguk-anggukan
kepala. Merasa lucu dan konyol, menikmati musik yang kau sendiri tak tahu lagu
dan genrenya. Aku tersenyum sinis seorang diri, lalu bersenandung pelan. Membuat aku seolah-olah
tahu lirik dari lagu yang diputar.
Kupejamkan lagi mataku, dan
kudengarkan perlahan alunan nada yang berputar itu, dan ia masih mengiring pelan. Namun disela-sela
alunan musik itu, sekonyong-konyong seseorang tak kukenal menghampiri secara
mengejutkan.
“Joe, ikut aku !”
“maaf, apakah aku mengenalmu?”
“kenal atau tidak, itu bukan hal
penting. Sekarang kau harus ikut denganku segera!” pintanya dengan sedikit
memaksa.
Tanpa sempat aku menjawab,
secepat kilat ia meraih lenganku. Melewati deret-deret kursi yang penuh sesak
dengan orang-orang. Aku tersentak, saat beberapa meja bundar terbentur keras
oleh tubuhku. Beberapa orang menyumpah, karena isi gelas mereka yang tumpah.
Dan si wanita aneh ini masih
mencengkramku kuat sambil berlari. Wajahnya yang dingin dan beku, seolah
menjadi tanda bahwa ia tak peduli terhadap kekacauan yang telah dibuatnya.
“aku harus segera menyelamatkanmu”
“oh ya? Dari hal apa? Padahal
baru lima menit yang lalu aku mulai merasakan ketenangan, tapi kau datang malah
mengacaukannya. Sepertinya anda yang harus diselamatkan, nyonya yang aneh” jawabku
keras.
“oh ya, nyonya yang aneh? Maaf tuan, aku tak setua yang kau pikir!” jawabnya ketus. Sepertinya ia kesal dengan caraku memanggilnya. Wajah tirusnya pun, seketika memerah padam. Sementara itu, dengan terus berlari kencang, ia mencengkram kuat lenganku. Lalu, aku mulai merasakan tubuhku lemah tak bertenaga, dan kulitku mulai menjadi pucat pasi tak berdaya.
Ah bodohnya, Kenapa bisa aku pergi dan berlarian tak jelas dengan wanita ini? Bukankah aku bisa berontak dan melawannya? Ah, tapi mengapa tubuhku menjadi lemah dan pasrah seperti ini? Dan bagaimana jika wanita ini seorang yang jahat? Yang sewaktu-waktu bisa saja menikamku, lalu mengoyak-ngoyak dan memburaikan isinya? aku pun bergidik seram, membayangkan apabila hal itu terjadi padaku.
Ia masih menyeretku dengan
setengah berlari. Lalu selepas gang kedua, kami berbelok, memasuki sebuah
lorong panjang dengan pintu tua di ujungnya. Setelah memasuki pintu tersebut, tampak
dinding-dinding pualam yang putih legam menyambut kami dengan dingin. Kidung-kidung pujian mengema seisi ruang
dengan nada-nada yang melantun. Nada-nada merdu itu keluar dari ujung
jari-jemari pianis yang menekan tuts-tuts piano dengan lembut. Beberapa bangku
kayu yang panjang rapi berderet. Nyala lilin samar-samar tampak menari pelan,
mengoyang bayang-bayang kami yang tertimpa oleh cahayanya. Tujuh batang menyala
di altar utama dan beberapa lilin kecil menyala di sudut-sudut ruang pada
dinding pualam itu. Tak ada terang dari
cahaya lampu listrik disana, ya tidak ada. Dan lilin-lilin itu menjadi satu-satunya
sumber penerangan di sana. Entahlah, aku mulai merasakan sesuatu yang aneh akan
terjadi. Dan entahlah, hal sialan apa lagi yang akan menimpaku di tempat
ini.
Seketika aku terjerembab setelah
tangannya menarik dan menghempas tubuhku di depan altar.
Sikuku berdarah, terluka karena terantuk
lantai marmer yang keras itu. Sementara kulihat nafasnya tersengal tak
beraturan, sambil setengah berlutut ia menatapku tajam.
Lalu tiba-tiba, beberapa perempuan
lain datang. Derap langkah kaki mereka menghentak seantero ruang. Kurasakan
juga hembusan udara dari kibasan jubah mereka yang menjuntai panjang. Kemudian mereka
berdiri melingkar di sekelilingku, dan suasana pun berubah mencekam. Tuts-tuts
piano mengalunkan nada yang kencang, minor dan menusuk. Lantas Kurasakan langit-langit mataku menjadi
petang, dan perempuan-perempuan itu mulai bergumam tak jelas mengucap mantra
dan doa yang aku sendiri tak mengerti apa artinya. Lambat laun suara-suara
mereka berubah semakin nyaring.
Seketika tubuhku rebah, saat
gumaman-gumaman mereka merapal, dan masuk ke telingaku. Seirama dengan doa-doa mereka, Kulihat
bayang-bayang sebuah rumah muncul. Rumah
itu menari-nari didalam kepalaku, yang kemudian hilang ditelan kegelapan. Dan kulihat
lagi seberkas cahaya datang, memuat riuh
sekelompok orang aneh yang berparade sambil
menaiki cahaya itu. Pakaian mereka bermacam-macam, ada yang mengenakan pakaian
loreng-loreng, pakaian jubah berjuntai-juntai, bahkan ada yang mengenakan
pakaian dengan sulur-sulur memanjang menyerupai burung parkit. Lalu Kulihat salah seseorang dari mereka menatapku
dengan topeng buasnya. Tubuhnya menari-nari mengikuti alur cahaya itu, yang perlahan
mengalir pelan, kemudian hilang dan
tengelam di pelupuk mataku. Aku terkejut, saat semua bayang-bayang itu menghilang,
yang hanya menyisakan gelap dan hening
di kepala.
“Joe, tolong aku. Aku tidak ingin
berpisah dengamu. Tolong hentikan semua kekacauan ini !” gadis kecil itu
tiba-tiba menyembul tepat di mukaku.
Aku terkejut, tak percaya bahwa
ia muncul. Tubuhnya basah, bajunya kucal dengan wajah yang kacau. Ia menangis
sejadi-jadinya tepat di wajahku. Dan di
ruang gelap kepalaku, aku bisa merasakan kepedihanya yang menyeruak dalam.
Nafasku semakin terasa sengal! Sementara
doa-doa mereka semakin kencang dan cepat! Aku mengerang, merasakan
gumpalan-gumpalan cairan, yang kental mendorong keluar dari dalam perutku.
“ 'ÊYKH NÂFALETÂ MISYÂMAYIM HÊYLÊY BEN-SYÂKHAR NIGEDA'ETÂ
LÂ'ÂRETS....! “ kudengar wanita itu berteriak keras !
Seketika
angin kencang datang, mengamuk dan memporak-porandakan mereka. Ya, gadisku dan
kumpulan orang aneh itu. Tubuh mereka
pun terhisap oleh putaran angin tersebut. Mereka semua mengerang, berteriak, dan menyumpah.
Kulihat gadis kecilku menangis meronta-ronta. Tubuh mereka perlahan lenyap
menjadi serpihan-serpihan debu yang berhamburan bebas di udara. Aku hanya bisa
mengerang kesakitan merasakan angin yang bercahaya dan serpihan-serpihan itu
menghantam perutku. Aku mual! Seketika
cairan kental menyeruak keluar dari mulutku. Tubuhku lemah, terkapar dan tak sadarkan diri. Dan
aku merasa hilang...
Langit-langit
menjadi Hening..
Bintang-gemintang
runtuh
Dinding-dinding
bisu.
Sial
apa lagi yang akan terjadi?
Gumamku dalam hati...
“Tidak Joe, kau telah selamat..”
tiba-tiba ia mengkecup keningku, kemudian pergi tanpa sempat menitipkan salam,
atau pun senyum. Ya, ia benar-benar wanita yang aneh.
Awal-awal baca jadi keinget lagu Menghapus Jejakmu - Peterpan. Eh, ternyata cerpennya semacam cerpen fantasi. Lalu, endingnya kaget... Semacam open closing bukan sih?
ReplyDeleteHehe, iya ya, tak pikir-pikir kaya lagu menghapus jejakmu. Terimakasih buat apresiasinya. Tapi saya juga bingung ini open closing atau bukan.
ReplyDeleteSurprizor
ReplyDeleteno Surprises.
Delete-radiohead-
maaf otakku ngga bisa mencerna.. wkwkwkw
ReplyDeleteHaha, iya sobat. tenang. kelak kau akan mengerti
DeleteKoreans underneath forty now account for over half of the country’s household debt, 파라오 카지노 up from 35% two years in the past. In addition to Seoul’s runaway home prices, growing unemployment charges have fueled this generation’s discontent. Since 2017, the number of unemployed or underemployed young people has grown every year, reaching a high of 27.2% in January 2021, regardless of South Korea having the best share of young adults with tertiary schooling of all OECD nations. In latest years, extra of South Korea’s youth are identifying as the “dirt spoon” technology, belonging to the low-income rung of society. Even members of the vastly popular South Korean boy band BTS had been identified as|often recognized as} “dirt spoon idols” once they debuted in 2013, represented by a small, indebted leisure firm . “Such a mentality is widespread in societies where opportunities for social mobility are restricted,” says Andrew Eungi Kim, professor of international research at Korea University.
ReplyDelete