jadi untuk apa kita menulis?


"Tulisan yang melayang-layang"

Rumah itu tanpa atap. Hanya ada dinding-dinding kayu yang kusam dan bisu, dengan beberapa ruang yang terpisah oleh sekat-sekat sirip bambu. Didalamnya teronggok diam sebuah dipan, dengan selembar tikar pandan sebagai alas, mengisi sepetak ruang yang kosong di sana. Iya, dipan reot itu menjadi penguasa satu-satunya dalam rumah. Selain hanya ada nyamuk-nyamuk nakal dengan sedikit suara bising yang mendenging ke segala arah. Lantas Kurebahkan saja tubuhku yang ringkih pada dipan usang itu, sambil mataku menatap langit malam yang legam, dengan sedikit hamburan cahaya bintang di sudut-sudutnya.

Sumber : Pixabay

Indah? Atau malah aneh, atau malah lucu? Ah, sudahlah lupakan.

Barusan hanyalah gambaran ringkas dari isi kepalaku yang beku. Banyak ide, namun tak dilaksanakan. Banyak ide, namun tak kunjung jua diputuskan. Alhasil, tak ada karya satupun yang berhasil ditelurkan.

Memang, beberapa cerita berhasil dituliskan. Namun, cerita-cerita tersebut tak juga menemukan akhir. Mulai cerita fiksi tentang tiga bersaudara yang berpetualang di tanah antah-berantah. Yang harus buntu dengan plot serta esensi cerita yang ngalor-ngidul. Bahkan, kutulis juga sebuah cerita bertemakan horror, dengan bumbu-bumbu paradoks didalamnya. Namun sama saja, cerita tersebut juga tak memiliki akhir. Sama halnya dengan cerita-cerita yang kutulis terdahulu.

Buntu dan beku.

Entahlah, menulis sepertinya memerlukan waktu khusus, tempat khusus, dan suasana yang khusus. Untuk bisa menelurkan ide-ide dalam sebuah kata dan kalimat.

Atau jangan-jangan hal itu hanyalah sebuah kambing hitam?

Dengan menyalahkan keadaan dan waktu, adalah salah satu alasan termudah kenapa tidak menulis. Lelah, repot, dan sukar membagi waktu, khususnya membagi waktu dalam bekerja adalah hal gampang, bahkan terkesan  klise bagi seorang buruh sepertiku. Padahal, sejak setahun yang lalu aku berusaha membangun komitmen untuk aktif menulis. Mulai menulis sebuah cerita pendek, artikel, kasak-kusuk, bahkan coretan-coretan yang ‘tidak jelas’ dari isi kepala, berusaha ku tuangkan dalam sebuah tulisan.

Namun entah mengapa, beberapa waktu kebelakang rangsangan ide dan kreativitas itu terasa monoton, Beku dan buntu. Dan tentu saja menimbulkan tanya bagiku.

Jadi, apakah menulis itu susah? Apakah menulis itu membosankan? Atau apakah menulis itu bakat, dan hanya orang-orang dengan kemampuan dan bakat khusus saja yang mampu melakukannya?

Aku pun sempat berpikiran demikian. Sampai pada suatu saat, dalam sebuah kutipan bacaan yang di ungkapkan oleh seorang tokoh besar dalam dunia sastra dan kepenulisan, membuka pemikirannku tentang seberapa penting menulis, dan kenapa harus menulis. Ia adalah Pramoedya Ananta Toer. Menurut Pram, kenapa kita harus menulis? Karena menulis adalah bekerja untuk keabadian. Manusia boleh saja pandai setinggi langit, namun apabila ia tidak menulis, maka ia akan lenyap dari masyarakat dan sejarah.

Sebuah kutipan yang mengagumkan dari seorang maestro sastra dan bermakna sangat dalam. Tidak hanya dikenang, namun dengan menulis kita dapat menularkan pemikiran-pemikiran kita lintas generasi dan masa. Bahkan, apabila tulisan-tulisan kita memiliki pesan dan manfaat bagi orang lain tentunya kebaikan yang  kita buat dalam tulisan tersebut, akan mengalir terus-menerus bak sumber air yang akan memberikan manfaat bagi siapa pun tanpa kenal waktu. Sungguh, sangat mulia!

Lalu apakah menulis itu adalah sebuah bakat khusus untuk orang-orang tertentu?

Ternyata tidak. Bila mengutip pada ungkapan salah seorang penulis yang dikenal pada era milenial kini, yaitu Fiersa Besari, Ia mengatakan bahwa jika menulis adalah suatu medan pertempuran, maka membaca adalah medan latihanya. Maka dengan semakin banyak membaca, kita akan memiliki buah-buah pemikiran dalam otak kita. Hingga pemikiran-pemikiran itu tanpa kita sadari menyeruak kuat, lalu memperbesar dorongan dalam diri untuk menuliskannya.

Jadi dengan semakin banyak membaca, maka akan semakin melatih pola pikir kita dalam merancang dan menyusun sebuah tulisan. Akan banyak perbendaharaan kosa-kata dan kalimat dalam diri kita karena terlatih membaca. Maka dari itu, menurut Fiersa Besari untuk mempertajam sebuah tulisan, kita harus rajin dan tekun membaca.



Jadi bagaimana? Apakah kalian sudah membaca? Atau bahkan menulis?

Ya, aku masih di sini, masih meraba-raba kata demi kata yang pantas untuk dituliskan. Sambil melewatkan pandang pada daun-daun jendela yang tergoyang-goyang karena angin. Sambil bertanya dan menyela, di manakah inspirasi? Ada kah kau di sana ? diantara suara sulur-sulur angin yang berhembus itu? Ah, aku masih mengerutu. Buntu lagi, buntu lagi. Lantas bagaimana dengan mu? Apakah buntu seperti ku? Harapanku, Semoga tidak.


"satu dua tiga
ku mulai berhitung
di antara sajak-sajak tak bertuan itu, ku mematung"

Comments

  1. Scipta manent verba volant

    ReplyDelete
    Replies
    1. kata-kata lisan akan hilang, tulisan akan abadi.

      Delete
  2. Lanjutkan anak muda,,,tulislah apa yg ingin kamu tulis... Aku yakin, suatu saat kamu akan menemukan apa yg kamu cari,, entah di bawah tikar pandan ataupun di bawah dipan reot

    ReplyDelete

Post a Comment

terimakasih telah membaca tulisan ini, saya sangat senang bila anda berkenan meninggalkan jejak. salam

yang lain dari getah damar