Cerita Pendek ; Selembar Surat Untuk Muin.

"Bulan Berdarah Malam Ini"

Didalam sepi yang erat mendekap, seorang pria muda tampak lusuh dalam setelan kemeja jeans biru miliknya. Warna biru yang memudar, kusam dan kotor karena kerak debu yang menempel pada tepian kerah, serta lengannya. Seakan-akan hendak  bercerita tentang jalan hidup pria ini. Bercerita tentang jalan takdir yang harus dijalaninya. Barangkali hari ini, esok atau lusa. Antara gelap dan terang, antara suka dan duka.

selembar amplop coklat tua dengan tulisan alamat di sudut kanannya, telah teronggok lama di atas meja. Diam dan bisu menanti untuk dibaca. Menanti seseorang yang tidak lain dan tidak bukan adalah pria dengan setelan kemeja jeans lusuhnya. Yang sedari tadi hanya melayangkan pandang pada hilir-mudik kendaraan dari bingkai jendela. Lampu-lampu jalan terang berpendar, bintang-bintang di langit bercahaya semburat tak menentu ke segala arah. Sama tak menentunya dengan pikiran sang pria kala itu.

Sumber : Pixbay

Di tangan kiri, Kretek dengan asap liar mengepul di udara, sementara Amplop coklat telah berada ditangan kanan. Diterawangnya kelangit-langit Amplop itu, sementara cahaya lampu yang silau menimpa tulisan yang tertera - “Kepada Sdr/Sdri Muin Alkana S.T. ” –apabila ada kesalahan penulisan nama dan gelar kami mohon maaf.

Dahinya mengerenyit, cerutu ditangan dihisap dalam-dalam. Dibukanya amplop coklat tua itu, yang berisi dua buah surat. Lipatan-lipatan surat dibuka perlahan, lantas dalam batin yang dalam ia mulai membaca....


*******
Kepada Muin...

Sudahlah pergi sana, bawa sekalian bunga dan segengam hatimu itu!
siapa yang sudi bersandar dan bersanding denganmu, orang  yang kalang kabut dan gak jelas! jangankan aku,  tikus di got sana pun tak sudi mencium aroma tubuhmu yang enggap itu, M..u..i..n!
Hah, apalagi? Tak usah kau memasang wajah memelas seperti itu. Kau memang pantas berada di tempatmu, bukan disini. Tempat ini, hanya untuk orang-orang yang jelas asal-usulnya, bobot-bebetnya . Lah kamu?  Cuih, najis.

Kudengar bapakmu telah mati berkalang tanah, dimana pusaranya pun tak ada yang tahu, kasihan. Mati tanpa tahu dimana bangkainya berada, mati tanpa tahu waktu dan hari apa. Ya, kau boleh sedikit berbangga, bapakmu yang katanya tentara itu setidaknya tak mati sia-sia.

Tapi, apakah dengan bapakmu yang  ‘Tentara’ itu bisa meluluhkan hatiku Muin? Sekali-kali tidak! Apalagi ibumu yang kerjaannya melacur di pasar ngramen tiap malam, mana bisa jadi mertuaku. Aku ini orang terpandang Muin, coba kau lihat trahku, kau tilik garis buyutku. Aku lah garis saudagar erros mengkasar, camkan itu!

Jadi bila selama ini aku berlaku ramah terhadapmu, sebaiknya kau tak besar hati dulu. Itu semata-mata hanya karena aku kasihan padamu .

Bila sebelumnya aku tersenyum, dan menjabat tanganmu, tolong ya itu hanya kepura-puraanku saja. Apalagi waktu sabtu yang biru itu aku mau bergandeng denganmu, berjalan mengeliling kota, itu hanya kebodohanku semata. Anggap saja begitu. Dan bila waktu itu bensin motormu ngadat, dan aku yang membayar, lupakan. Tak usah kau ganti. Anggap saja itu sedekahku untukmu, yang hanya tersisa lembaran kusam dua ribu dan beberapa kertas catatan hutang di dompetmu.

Dan kenangan-kenangan sok  manis yang dulu kau sarangkan padaku, tolong ya lupakan saja. Kan sudah kubilang Muin, itu hanya kepura-puraanku. Tak lebih. Apa lagi waktu itu hal bodoh baru saja kita lakukan, bisa-bisanya kau kecup bibir tipisku kala mendung datang. Dan konyolnya  aku bisa-bisanya membalas kecupmu itu. Entahla Muin, setan mana yang merasuk kala itu. Jadi tolong anggap itu angin lalu. tak lebih. Tak ada yang istimewa. Camkan !

Oh ya, jangan kau ingat-ingat lagi pelukan hangat waktu itu, yang kita hantarkan saat kabut tipis yang jahil itu datang. Sudah lupakan saja Muin. Pelukan itu pelukan basi. Itu semata-mata  terjadi Karena si dingin yang lugu itu merayuku untuk jatuh kepelukmu. Si dingin pelo yang bersembunyi dibalik kabut tipis. Dan manusia pelo mana yang mau mati kedinginan bersama dingin yang mencabik-cabik dan menusuk itu. Tentu saja aku tidak mau  Muin.

Ingat ya Muin, aku TIDAK SUKA DENGANMU! AKU TIDAK CINTA PADAMU! Jadi segala bentuk pengorbanmu selama ini hanyalah kesia-siaan, tak ada guna. Jadi, mulai sekarang berhentilah berbuat baik padaku. Tak usah kau rayu-rayu, tak usah kau puji-puji aku lagi. Dan jangan kau pasang wajahmu yang sok manis itu. Aku muak Muin!

Oh, kamu merasa rugi? Kamu merasa berkorban banyak? Uangmu habis? Oh ya, uang yang kau pakai untuk mentraktirku di Warteg tepi sungai itu? Oke, aku bisa mengantinya. Kau mau berapa? Sepuluh ribu? Dua puluh? Atau lima puluh? Sejuta? Cuih! Berapa pun itu, aku sanggup membayarnya Muin! Jangankan membayar ‘utang’ traktirmu, membeli mukamu yang lusuh itu aku mampu!

Dan tentang hal ini Muin, Puisi-puisi mu, sajak-sajakmu, mantra-mantramu itu sampah! Mereka hanyalah segumpal hitam diudara yang bakalan lenyap tersapu angin. Sudah ya, tak usah payah lagi kau sok mengarang untukku. Kata-kata dan suaramu itu tak ada artinya, dan senyummu itu hanyalah berisi hampa yang pilu Muin!

 Lagian, sebulan lalu aku telah dipinang, seminggu depan aku tak kan lagi melajang. Jadi berhentilah berharap padaku. Gih, pergi sana dengan segumpal bahasamu yang tak penting itu. Aku tak butuh!
Muin asal kau tahu, dia yang meminangku ini manusia yang jelas. Pria yang garis turunannya tak ada bercacat. Bapakku tahu, bapaknya juga tahu. Diberinya aku sebongkah batu giok cina dan beberapa gulden sebagai seserahan. Sedangkan kamu? Ah, Muin, Muin... sudahlah. Apa kerjamu Muin? Serabutan yang tak jelas!

Aku tentu masih ingat, saat terakhir kau  ucapkan cita-citamu itu. Kau bilang hendak mengarung ke pulau seberang, sebentar-sebentar bilang hendak berkelana ke negeri Cina. Eh, kuberitahu ya, jadi manusia itu jangan ketinggian. Jadi manusia itu yang pasti-pasti saja. Jangan berlagak hendak mengapai langit sedangkan separuh bumi saja belum kau rengkuh. Bercita-cita hendak berkelana diangkasa luas, namun batas cakrawala sendiri pun kau tak tahu. Muin.. Muin... begini kau mau meminangku. Hendak kau beri makan apa aku? Anak-anakmu? Ampas babi pun tak akan sanggup kau beli !

Muin, yang lusuh dan melas....
Dengan ini kulampirkan, surat hajatku. Kau mau datang? Silahkan. Tidak juga bukan masalah bagiku. Aku tidak rugi, tapi bila kau benar datang, tak usah kau repot-repot membawa amplop. Tak usah kau isi guci-guci hajatku. Sekali lagi, aku tak rugi! Lebih baik uangnya kau simpan untuk keperluanmu. Beli-beli baju yang bagus sana gih ! rias-rias sedikitlah tampang kusammu itu. Oh iya, aku lupa. Mana cukup uangmu untuk berbelanja, untuk makan saja masih mengharap dapur tetangga. Payah !

Terakhir ya Muin.
Ingat, aku memberikan undangan ini bukan karena apa-apa. Ini hanya semata-mata aku pernah mengenalmu. Tak lebih. Jadi jangan kau berpikiran macam-macam. Jangan kau kira aku masih mencintaimu. TIDAK. Dan sekali lagi Muin, AKU TIDAK CINTA DENGANMU, DAN AKU TIDAK AKAN PERNAH MENCINTAIMU.

Cukup Sekian.

**********

Sejenak dinding-dinding diam membisu, udara dingin malam kian kuat menusuk. menyiksa batin yang erat didekap sepi. Tatapan separuh kosong melemparkan pandangan tinggi ke langit malam, dilihatnya bintang gemintang yang berkilauan di langit. Dan dalam sesaknya ia bertanya, ”dimana bulan?”

Brakk.. !

pria dengan kemeja jeans lusuhnya itu tersungkur di lantai dengan peluh dan darah yang mengucur deras...

Comments

  1. Aku suka sama ceritanya, ah tapi masih ada beberapa PUEBI-nya masih perlu diperbaiki ya kak.

    Aku sukanya, cerita langsung menceritakan tentang konflik yang dihadapi Muin. Sudah pernah terbitkah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. terimakasih kak, sudah berkenan membaca tulisanku yang "remah-remah" ini. terimakasih untuk sarannya, saya akan perbaiki dan belajar lagi. hanya matahari yang terbit tiap pagi di timur bumi, tapi tidak dengan tulisan ini. (hehe :) )

      Delete

Post a Comment

terimakasih telah membaca tulisan ini, saya sangat senang bila anda berkenan meninggalkan jejak. salam

yang lain dari getah damar