bukan sebuah cerpen; semoga kaleidoskop 2019


"Rangkuman kisah 2014-2019"

Pembukaan (Preambule)
Hei apa kabar? Sudah lebih sebulan kuhabiskan waktu di pulau bali. Ya, aku harus escape  dari malang. meninggalkan malang dengan segala zona nyamanya dan beralih  ke pulau ini, untuk  bekerja, untuk melanjutkan hidup.

Bila diingat-ingat kembali, malang memang penuh dengan memori yang sulit untuk dilupakan. Setiap kelokan jalan, dan sudut kotanya selalu mengingatkan akan sesuatu yang memorabel.  Jalanan sejuk dengan rindang pepohonan, macet yang selalu menghiasi kala akhir pekan, serta tongkrongan-tongkrongan  khas mahasiswa yang selalu ramah dikantong,  siapapun yang mengunjunginya, pasti akan setuju akan hal ini. O iya, tak lupa juga dengan tempat-tempat makan murah yang menjadi primadona mahasiswa.

Ah apa lagi yang hendak dilupakan dari Malang? Sebuah kota yang menjadi tujuan bagi para ‘kuli ilmu’ untuk  memperkaya wawasan. Mulai dari perguruan tinggi negeri hingga perguruan tinggi swasta, semua ada disini. Mulai dari sabang hingga merauke, dari talaud hingga pulau rote, semua anak bangsa berkumpul di sini. Ya, di Malang. Kota ramah yang sarat akan nilai-nilai pluralisme didalamnya.



Lalu bagaimana denganku? Apa yang menjadi kenanganku di kota ini? Ah, semuanya tentu saja berasal dari ketidaksengajaanku membuka sebuah surel perguruan tinggi swasta lima tahun lalu. sama seperti pemuda-pemudi kala itu, yang resah mencari perguruan tinggi. Apalagi semua tes ujian masuk perguruan tinggi negeri sudah dicoba, namun selalu saja hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Lalu opsi memilih perguruan tinggi swasta menjadi alternative terakhir untuk melanjutkan studi.

Universitas Gajayana Malang. Itulah nama kampusnya. Sebuah kampus yang berlokasi di sisi utara Kota Malang. Tepatnya di kelurahan Merjosari, kecamatan Lowokwaru. Menjadi perguruan tinggi ‘pilihan’ ku untuk melanjutkan studi. Sebuah kampus yang asri, tenang dan jauh dari hiruk pikuk keramaian. karena tenangnya, sampai-sampai jika berada dikampus ini, kalian dapat menghitung jumlah kendaraan yang melintas di depannya dengan mudah. Mungkin dengan sepuluh jari ditanganmu tak akan habis dipakai untuk menghitungnya.

Ya, tidak hanya jauh dari hiruk pikuk kendaraan, kampusku ini juga jauh dari kata terkenal. Jangankan dikenal untuk level nasional, untuk dikenal dan terkenal oleh warga kota Malang sendiri masih sebuah keniscayaan. Menyebalkan memang.

 pernah suatu kali aku bertanya jawab dengan seorang ibu,

kuliah le?”
“ngih buk”
“lho kuliah nok ndi?”
“teng UNIGA buk”
“UNIGA ngendi le?”
“Niku lho buk, teng Merjosari, Universitas Gajayana Malang”
“endi to le, aku kok gak tau tumon nang merjosari onok kampus.”
“niku lo buk, kampus sing arah e tekan Sardo”
“Sardo?”
“Mmm, anu buk, arah Dinoyo. Unisma buk, Unisma”
“yok po se, genahe kon iku kuliah nang Uniga opo Unisma?”

Selepas berbincang dengan ibu tersebut, tiba-tiba ingin rasanya aku lupa ingatan. Kemudian berenang kelautan, dikejar lumba-lumba sampai mati kelelahan, atau pergi ke tengah hutan yang penuh dengan beruang, kemudian dimakan lalu  menghilang. Sialan malunya cepat sekali bersarang. Ibu oh ibu, sialan.

Kampus, Mahasiswa dan Asmara.
Begitulah adanya, meski fasilitas kampusku terasa belum memadai bahkan kurang, seperti wifi yang ngadat, toilet yang mampat, entah dosen atau mahasiwa yang telat. Apapun  pun itu, kehidupan di kampus akan selalu indah untuk dikenang. Apalagi untuk urusan cinta. Ya, hambar rasanya membicarakan kehidupan kampus tanpa membahas masalah cinta. Seperti kata pepatah, ‘bagai sayur tanpa garam’, begitulah perumpaannya.

Terkait masalah cinta di dunia kampus, beberapa mahasiswa umumnya berprinsip selain meraih gelar sarjana, mencari calon pendamping menjadi wajib hukumnya.  Maka tak jarang beberapa mahasiswa dikampusku berhasil mendapat dan menamatkan kisah cintanya selepas studi. Tapi tidak denganku. Jangankan memikirkan masalah rancangan biduk rumah tangga, mewujudkan asa cinta pertama saja sudah gagal rasanya. Haha, ya di kampus ini aku sempat merasakan indahnya jatuh cinta untuk pertama kali, ya meskipun harus merasakan sakitnya patah hati untuk yang pertama kali pula. Sungguh, sebuah ramuan yang pas untuk menjadi sebuah persona ‘pria menye-menye’, pria melankolis.

Memang cinta adalah sebuah energi vital yang ada pada setiap insan manusia. Siapa pun tak akan bisa menafikanya keberadaanya. Dan sialnya kita seringkali membuat kekuatan cinta itu sebagai cinta yang bersifat objektif. Cinta yang berpusat pada kebendaan, ada, dan harus memiliki. Dan terkadang cinta yang semacam itu membuat diri kita terkekang pada perasaan yang serakah, egois dan pada akhirnya berakhir pada ketidakrelaan terhadap kenyataan cinta itu sendiri. Namun  ada beberapa orang beruntung yang dapat mengendalikan kekuatan energi cintanya itu pada sesuatu yang lain.

Dan mungkin aku adalah salah satu yang beruntung itu. Pada akhirnya, aku bisa menemukan arti cinta sebenarnya pada kampus ini. Dengan segala kekurangan fasilitas dan lain sebagainya, aku bisa mengalirkan energi cinta itu pada sebuah gerombolan khalayak yang ku sebut ‘keluarga’. Keluarga yang tak memiliki ikatan darah namun lebih dari saudara. Keluarga yang muncul karena perbedaan suku, bahasa dan agama. Keluarga yang ada disaat suka ataupun duka. Meski lebih banyak duka dibanding sukanya (hehe). Dan dengan bangga kuperkenalkan nama keluarga ku itu, KAPA’85.

Akhirnya, Aku dan KAPA’85
KAPA’85 sendiri adalah sebuah unit kegiatan mahasiswa yang berkecimpung di dunia petualangan dan kepecinta alamaan. Disinilah tempat dimana kegiatan mendaki gunung, panjat tebing, susur goa, arung jeram, serta olahraga kepetualangan lainnya menjadi kegiatan utama, selain kegiatan sosial dan kemanusiaan. Yang pasti, hanya mahasiswa Universitas Gajayana Malang saja yang dapat bergabung dan ikut serta dalam keanggotaanya.

Banyak kenangan yang kudapat bersama KAPA’85. Mulai menerjang badai pada gunung berawan pertamaku, ketakutanku pada goa-goa yang gelap, hingga kesukaanku pada panjat tebing yang akhirnya mengantarkanku pada sebuah pekerjaan yang berhubungan dengan ketinggian. Serta kenangan buruk pada saat berarung jeram yang rasa-rasanya indah untuk dikenang namun tidak untuk diulang. Selain itu, memori saat berkegiatan keluar kota yang sarat pengalaman juga tak mudah untuk dilupakan. Mulai dari tidur di emperan, hingga di lantai bus. Juga kenangan tertipu calo kendaraan sebesar enam ratus ribu rupiah di gunung Lawu, hmm rasanya masih segar di ingatan. Dan rasa-rasanya hal ternikmat dan indah saat berkegiatan adalah momen saat berada dalam perjalanan, bukan pada tujuan akhir. Karena ‘puncak’ hanyalah bonus, sedangkan nilai hidup dan pengalaman ada disaat kita menempuh tujuan itu. Ah, indahnya masa itu.

KAPA’85 dan Universitas Gajayana Malang adalah dua hal yang tak bisa dipisahkan dari kisah hidupku. Tempat memproses diri, tempat belajar, dan tempat pertemuanku dengan orang-orang hebat yang menginspirasi. KAPA’85 adalah zona “ternyamanku”, tempat yang selalu memanggil siapa pun untuk pulang. Tempat yang selalu memiliki kuasa magis, dimana dinding-dinding dan atap bangunannya selalu dapat mendengar jerit batin dari setiap manusia yang berteduh dibawahnya. Yang selalu memberikan pencerahan ‘spirituil’ lewat hembus angin yang bertiup di setiap celah dinding-dinding kayunya, kala matahari benar-benar tenggelam. Hmm, memorable.

Pada akhirnya, tak banyak kata yang bisa merangkum kenangan indah bersama KAPA’85, selain sebuah kalimat yang terpatri seumur hidup pada setiap insannya, “Pantang Tolak Tugas, Pantang Tugas Tak Selesai, Tabah Sampai Akhir!”



sekian.

ini waktu kita sedang gembel-gembelnya. tapi asik.

"Kami Bukan Pembangun Candi,
Kami Hanyalah Pengangkut Batu.
Kami adalah angkatan yang akan Musnah,
Agar Lahir angkatan Baru Di atas Pusara Kami."



-M. Furqan-

Comments

  1. Curhat ni yeee.

    Kenapa pengelaman prestasi di dunia panjat dinding dan tebing tidak di ceritakan juga

    ReplyDelete
  2. tidak punya prestasi kakak, makanya nulis aja.

    ReplyDelete

Post a Comment

terimakasih telah membaca tulisan ini, saya sangat senang bila anda berkenan meninggalkan jejak. salam

yang lain dari getah damar