cerita pendek ; seorang wanita tangguh di negeri antah berantah


 "Rane"
Rane mengumpulkan beberapa batang kayu dari sisa pohon benuas yang telah dipotong. Potongan-potongan kayu  yang  tak lebih dari lima puluh centi itu, kemudian diikatnya dengan  tali yang terbuat dari serutan kulit pohon. Kemudian kulit pohon itu dililitkan beberapa kali pada kedua ujung tumpukan kayu. Lalu kedua  ujung kulit  kayu tersebut, dipilin agar kuat mengikat pada tumpukan kayu yang telah dikumpulkan. 

Bunyi gemerisik keluar dari batangan kayu tersebut, saat  rane mulai berjalan selangkah demi selangkah pada sebuah setapak kecil yang tidak terlalu tampak sebagai sebuah jalan, selain hanya ada  ilalang dan semak belukar yang melambai serta membelai kaki Rane yang kuat berjalan. Terkadang perduan itu  tak hanya lembut membelai, akan tetapi mereka juga tajam  menyayat betis Rane, sampai rasa perih  akibat gesekan tersebut muncul tanpa disadari. 

Pelan Rane berjalan, rasa payah mulai merasuk kedalam pikirannya. Hingga memancing  dirinya untuk mengenang masa lalu. Ingatan ketika jukung  bermesin tunggal yang ditumpanginya  melaju membelah sungai di hulu kampung. Jukung yang mengantarnya pergi menuju sekolah rakyat, di sekolah yang kadang babi-babi kampung sibuk mencari makan dikolongnya, hingga siapapun yang berada di ruang kelas, harus kuat menahan nafas karena bau aneh yang ditimbulkan oleh babi-babi itu.

Ingatan terhadap mang Juin juga masih segar mengalir di otaknya. Paman yang paling dia benci sekaligus dicintainya, meski hanyai separuh hati. Apalagi semenjak mak Liuh, orang yang mengandungnya itu mengalami gangguan jiwa, rasanya hampir setiap hari amang Juin mendikte dirinya. Entah kapan harus makan, kapan harus mandi, kapan harus tidur. Terkadang, waktu bermainnya pun harus rela tersita, diganti dengan tugas membantu mang Juin dan istri, untuk memasak ataupun berladang.

“sudah, kau lihat dia?” bisik mang Juin

“sudah Mang”

“ayolah, iyakan saja. Kau lihat tampangnya, tidak terlalu buruk. Tampan pula”

“tapi saya masih mau sekolah Mang”

“ah, sekolah urusan belakang. Cepatlah kau bersuami, beranak, mumpung ada orang yang mau mengurusmu jadi istrinya ,perempuan juga kelak pasti ke dapur, urus suami. Mau sekolah setinggi apapun, kelak akan seperti itu”

“tapi Mang, Pastor Woldy bilang dengan sekolah nasib pasti berubah, masa depan akan lapang”

“ah, omong kosong. Nasib baik untuk yang baik, nasib buruk untuk yang buruk. Sudah terima saja nasib dan takdirmu seperti ini” timpal mang Juin meninggi.

Rane bungkam. Di depannya seorang pria perantau dari tanah sebrang, berharap cemas untuk dapat meminangnya, meski ia masih banyak ragu dan tak mau. Sementara itu di sudut ruang, istri mang Juin hanya bisa terdiam seribu bahasa, tunduk kepada sang suami, meski batinnya berontak terhadap nasib yang diterima Rane, tak sampai hanti ia melihat cita-cita kemenakannya itu pupus.

“ah..” Rane mengaduh pada dirinya sendiri, selepas ia duduk dan menyandarkan tubuhnya pada dinding rumah yang reot itu. Selepas ia menyusun kayu-kayunya pada dipan, disebelah dapur.

Matanya memejam sejenak. Aliran peluh mengucur deras, mengalir membasahi pipinya. Ia mulai membayangkan salju-salju yang pernah diceritakan semasa sekolah oleh Pastor Woldy, seorang guru dari Belanda yang mengajar di Sekolah. Ia menghayal, Seandainya saja salju itu turun dari langit, dan jatuh menerpa wajahnya yang merah terbakar, pasti sirnalah panas sialan ini. Dan segelas es teh manis dari segumpal salju, pasti akan nikmat untuk diminum, dan membasahi kerongkongannya yang kering. Gumamnya dalam hati.

Sementara tiada angin yang datang berhembus siang itu. Selain hanya matahari seorang diri yang kuat serta tegak lurus bersinar, tepat di ubun-ubun. Terkadang beberapa daun dengan misteriusnya bergerak seorang diri, seolah-olah memberitahu bahwa sang angin bersembunyi dibalik gemulai geraknya. Dan Rane masih rebah, didera rasa lelah yang menyelimutinya.

Ia mulai menghitung, Satu, dua, tiga, pada jari-jarinya. Cukup lama Ia berhitung, terkadang jika jari-jarinya tidak cukup, ia menggunakan gumpalan-gumpalan awan dilangit untuk mengira jumlah yang ia hitung. Awan-awan yang jamak bentuknya dan sedikit abstrak, membuatnya kembali tersenyum, dan tertawa kecil.
  
“ah, seminggu lagi untuk Sembilan bulan” ujarnya seorang diri.

Cukup lama Ia berhitung, selepas hitungan keduapuluh lima, hitungan yang  jatuh pada awan yang berbentuk mungil dan lucu, tiba-tiba ia harus berhenti menghitung.  Ia merasakan otaknya bergertak, otot dan syarafnya bergerak. Sekonyong-konyong rasanya langit hendak jatuh menimpa bumi. Perutnya melilit tajam, si jabang bayi dalam perut berontak, bergulat dengan cairan-cairan dan dinding Rahim yang membungkusnya. Ia ingin segera keluar, segera bertempur melawan kerasnya dunia, menentang congkaknya hidup. Tubuh Rane bereaksi, lantas Ia pun mengerang.
sumber : Pixabay


Sungguh sial nasib kala itu, tak ada suami untuk Rane disisinya, tak ada bapak bagi sang jabang bayi untuk merengkuhnya. Yang ada hanya rasa sakit beserta darah yang keluar dengan deras, menyambut kedatangan sang Jabang bayi. Tak ada alas kasur empuk, atau matras bayi yang menyambut. Selain debu tanah yang basah karena darah dan air yang keluar dari mulut rahim sang ibu. Hanya ada debu tanah dan sedikit rumput yang menyambut, saat kepala sang bayi menyembul keluar menyentuh bumi, menyambut sial. 

Kembali Rane mengerang keras, tangannya berusaha menjambak apa saja yang ada disekitarnya, tanah, rumput, bahkan dinding rumah. Rane mengerang lagi, menguatkan otot pada perutnya untuk berkontraksi, diagfragmanya pun mengerucut. Sesekali ia melepas nafas, kemudian mengenjan lagi, mengerang lagi. Sekarang separuh tubuh sang bayi nyaris keluar, menyusul kepalanya yang telah menyentuh bumi terlebih dahulu. Dan Rane masih mengerang, tubuhnya kian lemah. Namun bayangan masa depan sang bayi membuatnya kian kuat mengejan. Barangkali jadi mentri, bupati atau setidaknya lurah di kampung sendiri. Ah, janganlah nak. Jadilah dirimu sendiri, itu jauh lebih baik. Persetan dengan dunia dan orang-orangnya. Kau adalah kau, mimpi dan cita-citamu adalah sauh yang akan mengantarkanmu mengarungi derasnya ombak kehidupan. Kejarlah nak, kejar!

Rane mengerang, suaranya kian keras keluar. gerombolan burung terbang dari balik pepohonan, menghindar dari teriakan tersebut. Kemudian Rane berhenti mengerang, nafasnya terengah-engah.

Selang berapa lama, suasana menjadi hening. Daun-daun dan rerumputan berhenti bergoyang. Anak-anak tupai mematung di sarangnya. Dan langit perlahan mulai memerah, saat tangisan seorang bayi keras melengking, memekakan telinga. Tangisan seorang bayi Laki-laki, setelah Sembilan bulan diam dan mengembang dalam perut Rane. Tangisan yang mengartikan kebahagian dan pengharapan. Atau malah sebaliknya, tangisan dengan maksud kesedihan dan ketakutan, karena tahu dunia akan tidak ramah padanya.

Rane pun tersenyum, kemudian mendekap bayi itu, lalu menyekanya. Lantas berkata, “Selamat datang nak”. Dan air matanya pun menetes.

kini, bayi laki-laki itu telah nyaris berusia 20 tahun. selamat nak!  
kau telah dewasa.


Untuk Ibuku dan Ibumu. Juga kamu  dan kalian, para calon Ibu.



“Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

-Soe Hoek Gie-

 

Comments

  1. Sukaa keren banget.. aku sampai bisa rasain apa yg dialami rane saat melahirkan. Selalu bisa banget menjelaskan secara detail dan membuat pembaca masuk ke cerita

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terimakasih, membuat saya lebih giat belajar lg menuli.

      Delete

Post a Comment

terimakasih telah membaca tulisan ini, saya sangat senang bila anda berkenan meninggalkan jejak. salam

yang lain dari getah damar