cerita pendek ; apakah Aku boleh mengatakanya?
"Philia"
Nyamuk, itulah
aku. Hasil metamorfosa dari ratusan jentik yang mengeliat dengan liar pada air
yang jernih, tertampung pada beberapa kaleng bekas di sudut-sudut kampung. Dari situlah aku berasal. Beberapa
orang penikmat tari remong juga menyebutku
jingklong. Sebagai panggilan akrab
mereka padaku, selain ada beberapa nama lain lagi yang diberikan orang-orang itu
padaku. Sore ini, aku terbang kesana kemari untuk sekedar
bermain-main ataupun mencari sasaran untuk kumangsa dan kuhisap darahnya. Hmm,
darah segar sebagai penambah tenaga mungkin sedap juga pikirku.
Lalu pada sebuah
pendopo kecil, aku terbang. Mataku sedikit waspada terhadap cicak-cicak yang
seolah-olah diam mematung pada tiap dinding pendopo. Padahal jika tidak berhati-hati,
bisa saja aku diterkamnya dengan cepat, Hap! Jadilah aku mangsanya. Huh, aku
tak ingin hal itu terjadi, maka jauh-jauhlah aku dari dinding-dinding itu,
seraya mataku tetap awas terhadap gerakan para
cicak.
Matahari pun perlahan
padam kembali ke peraduan, diiringi alunan nada yang keluar dari suara jangrik
yang berderik, membuat terang berubah menjadi petang. Sebuah bangku panjang pada pendopo itu mulai jenuh
terhadap waktu yang disia-siakan oleh Marno kepada Menik. Entah berapa dupa
yang harus habis dibakar untuk menghitung lamanya waktu yang mereka habiskan. Untuk saling ber-kelu, untuk saling bertatap. Sesekali tatapan mereka saling jatuh. karena malu, saling malu.
Gambar oleh: Pixabay |
Payah betul
marno ini, pikirku. Untuk bersuara terhadap menik saja tak mampu ia lakukan, bagaimana
bisa ia berharap jauh terhadap isi hati dari si Menik? Ya, aku tahu niat gerak-gerik serta mimik wajah dari si Marno.
Marno, wanita mana yang tak jatuh hati terhadap parasnya, tampan nan rupawan. Namun
tetap saja hatinya tak pandai mengira terhadap rasa, asmara, dan bahkan isi
hatinya sendiri.
Tapi aku tahu, ada sebuah pembatas besar yang menghalangi niat hati dari si Marno. Si
pria pengupas bawang dari pasar kembang. Yang tanpa sebab jatuh hati kepada
seorang gadis belia nan cantik bak Dewi Sekar Taji. Turunan raja-raja dari trah
erros mengkasar. Ya, bagaimana bisa
seorang berkasta sudra itu harus
jatuh hati kepada seseorang yang berasal dari golongan ksatria? Rasa-rasanya tak mungkin bisa isi hatinya itu mendapat restu
dari geliat sosial disekitarnya. Seumpama bulan yang tak kan pernah bisa mengejar
matahari. Ya, bulan pada malam yang petang dan matahari pada siang yang terang.
Mereka berbeda, jauh berbeda.
Menik kembali
melirik arloji yang melingkar indah di tangan kirinya. Ia pun merasa waktu
telah lama membius tanpa memberikan sedikit penawar terhadap kebisuan yang ada
diantara mereka berdua. Dan rasa-rasanya akupun semakin cemas terhadap sikap
Marno yang beku itu. Sekian lama aku menjadi kesal, ingin rasanya
berteriak tepat di gendang telinga Marno dan berkata, “hei Marno, berhentilah
menjadi pecundang. Katakanlah yang sebenarnya Marno!"
Ya, yang pada akhirnya kukatakan juga kalimat itu kepada Marno, tepat ditelinganya. Namun ia mengusirku dengan mengibaskan tangannya berulang-ulang. Sepertinya ia terganggu, atau mungkin Ia tak mengerti maksud bahasaku? Kucoba terbang berkali-kali mengitari kepalanya, namun ia justru mengusirku kembali.
Ya, yang pada akhirnya kukatakan juga kalimat itu kepada Marno, tepat ditelinganya. Namun ia mengusirku dengan mengibaskan tangannya berulang-ulang. Sepertinya ia terganggu, atau mungkin Ia tak mengerti maksud bahasaku? Kucoba terbang berkali-kali mengitari kepalanya, namun ia justru mengusirku kembali.
Entah berapa banyak aku terbang dan berteriak ditelinga Marno. Sampai pada satu waktu aku benar-benar kesal
padanya, lalu kuputuskan untuk melakukan cara terakhir. Aku pun memutar haluan
badanku menjauh darinya, serta mengambil ancang-ancang kemudian berteriak “Marno bicaralah!” pekik ku dengan kuat pada Marno, sambil tubuhku meluncur dengan
cepat menuju lehernya. kuhujamkan dengan kuat cucut bergerigiku, kutusukan
bak jarum yang tajam tepat pada leher Marno yang legam itu.
Marno terkejut,
ia merasakan sakit dan gatal menjadi satu. Rasa itu sontak membuyarkan
lamunannya dan membuat aliran darah di dalam otaknya menjadi padu, dan menyatu
dengan keberanian yang ada di dalam Hatinya. Lalu ia pun bersuara seketika, “ Menik, aku menaruh hati padamu!” sambil mengaruk lehernya
yang gatal karena gigitanku, meskipun suaranya sedikit terbata-bata karena
tertahan oleh rasa malu yang dalam.
kata-kata yang
keluar dari mulut Marno seperti bunyi Kentongan
para penjaga malam yang menyiarkan
waktu. Berdegub mengaduh serta mengoncang isi hati Menik. sesaat Ia terkejut,
lalu mengembalikan pandangan matanya pada Marno. kemudian untuk beberapa waktu
yang lama, mata mereka saling tajam menatap, tak ada lagi bumi yang menangkap
pandangan mata siapa yang akan jatuh. Yang ada hanya pandangan mata yang saling
berbicara meski tak bersuara.
Dan angin kering
pun perlahan berhembus malam itu membuat rambut indah Menik tersibak dan
menari-nari dengan indah membelai kedua pipinya. Menik pun merekahkan manis senyumnya itu pada Marno, senyum terindah abad 21 yang hanya
didapat Marno sekali seumur hidup.
sekian
Philia,
Agape,
Eros,
Karena ada yang mudah bak ayam membuang kotoran,
Ada yang bebal karena terlalu berprasangka.
Ah, itulah Manusia dengan batinnya.
Agape,
Eros,
Karena ada yang mudah bak ayam membuang kotoran,
Ada yang bebal karena terlalu berprasangka.
Ah, itulah Manusia dengan batinnya.
Comments
Post a Comment
terimakasih telah membaca tulisan ini, saya sangat senang bila anda berkenan meninggalkan jejak. salam