cerita pendek ; Metamorfosa nan semu si biji polietilen.


 "Binasa"

Aku masih menatap bibir manis itu penuh malu. Tipis, merah ranum warna yang tampak dimataku. Mungkin telah dipoles oleh ginju anti luntur pagi tadi. Pipinya pun Nampak telah dilukis dengan warna yang sama, menyerupai warna pada bibir. Merah, namun sedikit lebih muda. Menjadi perpaduan yang pas antara keduanya, menjadikan siang itu tak terasa panas bila berlama-lama menatapnya. Padahal, matahari sedang terik-teriknya bersinar, hingga menyiratkan sebuah Tanya , “dimana awan-awan perakku yang teduh nan sejuk pada awal tahun itu?” begitu benakku berbisik.


“lagi, lagi” pintaku dalam hati. Sesaat setelah ia selesai dengan kuat mengecup keningku. kemudian rasa segar yang deras mengalir disekujur tubuh. Sebuah cairan lemon yang telah dibubuhi kristal es keluar semburat dari atas kepala. Mungkin sedikit kental manis krimmer telah ditambahkan didalam cairan lemon tersebut. Aku mengigil, merasakan cairan itu mengalir didalam tubuh disertai dingin es yang tak tertahankan. Namun aku tetap berusaha kuat dan menikmatinya. Lagipula, dari sekian banyak pilihan cairan yang sering kali mengalir padaku, lemon segar ini adalah yang paling kusuka.  Karena gadis itu yang baru saja meminumnya. Aku pun juga sudah terbiasa merasakan dingin semacam ini, mungkin sudah ratusan, atau  ribuan kali aku merasakannya. Tidak hanya dingin es saja yang acap kali kurasakan. Bahkan, panas sekalipun jauh lebih sering ditimpakan padaku. Meski aku merasakannya dalam wujud dan rupa yang lain. Ya, mungkin aku harus kuat terhadap semua ini, karena inilah takdir yang telah digariskan pencipta kepadaku.


“plak..” aku merasakan tubuhku terantuk pada sebuah wadah yang keras. Sambil badanku terguling-guling beberapa saat setelahnya. Kulihat  bermacam-macam wujud yang serupa denganku, pastinya mereka merasakan sakit yang sama. Aku sadar, baru saja sang gadis melemparkanku pada sebuah tong hijau disudut kedai minuman siap saji. Bau yang tak sedap hasil kombinasi dari berbagai macam sisa minuman dan makanan, memenuhi seisi tong. Aku mengelinjang, berusaha membenarkan posisi tubuhku agar tak terlalu berhimpit dengan yang lain. Kulihat sebuah polimer merah bening menangis tersedu di sela-sela himpitan wujud yang lain. Terlihat gambar pada bagian tubuhnya, ia baru saja menampung cairan segar berupa jus alpukat yang manis, dengan label ‘alpukat kocok’. Sementara sisa susu coklat campuran dari jus tersebut masih tersisa banyak mengendap didasaran tubuhnya.

Ia masih saja menangis, si polimer merah bening berlabel ‘alpukat kocok’ itu, dan setelah sekian lama ia menangis, perlahan aku mulai menangkap arti dari tangisannya. Tidak seperti wujud-wujud yang lain, mereka tampak tenang menanti penghabisan berikutnya, wajah mereka yang dingin dan diam menandakan mereka telah berulang kali mengalami waktu ‘penghabisan’. Dan aku yakin, si-polimer merah bening ini adalah ‘anak kemarin sore’ yang baru saja dicetak dengan teknik molding dari pabrik seberang sungai, dari kota yang sering dijuluki ‘kota uap hujan’.

Aku? Tentunya sudah biasa dengan ini semua. Sebagai sesuatu yang dimanfaatkan keberadaanya untuk sekali pakai, aku sudah biasa dengan ‘luka’ ini. Aku pun tahu, setelah semua terkumpul pada wadah tong hijau ini, kami akan mengalami pemilahan yang cukup panjang dan terkadang ‘menyakitkan’. Beberapa rekan dari komponen ‘biotik’ tentunya akan berpisah dengan kami sebangsa polimer, polietilen, karbon dan sebagainya. Mereka akan pergi ketempat yang ‘mulia’ bernama ‘komposting’. Sebuah tempat penyempurnaan raga dan sukma bagi wujud dan rupa yang suci, yang hendak meninggalkan bumi. Dan aku sudah hapal betul, kemana ragaku akan berakhir. Namun tidak dengan sukmaku karena jiwaku tak akan pernah mati. Selagi belum seribu tahun masa lamanya aku diciptakan, dan tentunya dengan diendapkan disuatu tempat tanpa diketahui siapapun selain aku, kamu, dan semesta saja yang mengetahui.

“maukah kau mendengarkan kisahku” tanyaku pada polimer merah bening itu, sambil aku mengeser kembali posisiku agar lebih dekat dengannya.

“hii hii.. iya tentu saja tuan.” Dengan sesegukan iya menjawab, air matanya masih saja berlinang mengalir dari kedua pelupuk matanya yang bening itu. Benar-benar bening, seraya warnah merah dari tubuhnya samar-samar memancar. Membuat semua yang terlihat padanya tampak lebih anggun dan indah.

“kita semua dilahirkan dari satu bangsa yang sama. Nasib serta takdir telah digariskan sang pencipta, sejak dalam kandung, sejak dalam wujud butiran-butiran pellet polietilen.” Ujarku, penuh bijak untuk sedikit membuatnya tenang.

“tapi mengapa takdir tak berlaku adil pada kita? Dan mengapa kita harus berakhir ditempat seperti ini? Saya tidak pernah menyangka akan dicampakan seperti ini tuan” cetusnya.

“tenanglah, aku juga merasakan hal yang sama dengamu saat pertama kali diciptakan. Semula aku berada pada tempat yang sangat indah. Berada diatas rak-rak berwarna warni, yang berderet rapi bersama saudara-saudaraku yang lain. Dan itu adalah kebahagian yang sempurna bagiku.”

“namun, tetap saja Sang Pencipta tak akan pernah bisa kita belokan takdirnya. Seberapa elok pun rupa kita, tentu  akan mengalami masa ‘penghabisannya’ kelak. Ya, masa itu akan tiba sewaktu-waktu  menghampiri siapapun kita. Dan aku masih mengingat waktu pertama kali masa ‘penghabisan’ ku tiba, ketika dijemput oleh ‘Sang Dewa’ dari rak warna-warni kebahagianku.”

“Ia menggengam sangat erat tubuhku, kemudian dibawanya aku pergi menuju istana maharaja yang sangat megah. Dimana, wujud-wujud sepertiku akan diperlakukan dengan sangat mulia, yang dipermandikan dengan bermacam-macam ramuan cairan kesukaan para ‘Dewa’.”

Si Polimer merah bening mulai kuat memperhatikaku bercerita, dengan tak menghiraukan lagi air matanya yang mulai mengering. Ia tampak lebih tenang kali ini. Meski diluar sana, beberapa orang berseragam oranye datang masuk ke kedai, dan mulai membuka serta memeriksa tong-tong hijau itu satu persatu. 

“Lanjutkan ceritamu tuan” pinta si Polimer penuh harap.
“baiklah, senang juga akhirnya melihatmu tak menangis lagi gadis kecil”

 Aku pun melanjutkan panjang ceritaku. Cerita tentang bagaimana aku diciptakan pertama kali, hingga kembali lagi pada tong pengap dan berbau anyir ini. Ya, rasa-rasanya aku telah mati rasa terhadap semua siklus kehidupan ini. Lahir baru, dalam wujud yang baru, kemudian dimanfaatkan sesuai dengan rupa dan bentukku. Dibuang kembali, kemudian diangkut menuju wadah ‘penghabisan’,  dihancurkan dalam proses yang sangat menyakitkan bagi kaum-kaum yang serupa denganku. Dan siklus ini terus berulang hingga waktu yang aku sendiri tidak bisa mengiranya kapan akan berakhir, mungkin hingga wujudku benar-benar tiada.
 
akulah aku. sumber :womantalk




Lambat laun berkisah, entah rasa apa yang timbul dalam benakku. Aku merasakan kelegaan yang luar biasa saat menceritakan semuannya pada ‘si anak baru’. Seolah-olah hatiku mendapat suntikan kebahagiaan, dan keharuan yang mendalam ketika bercerita panjang lebar bersamanya. Aku hidup, ya aku merasakan sanubariku hidup ketika menatapnya lebih dalam, melihatnya kembali sumringah dan melupakan takut yang semakin erat memeluknya. Meskipun sedikit rasa cemas menyelinap masuk kedalam pikiranku. Yang menggugah sebuah tanya “menjadi apakah kami selepas ini?”

Cukup lama aku bercerita kepada ‘si Polimer Merah Bening’ itu. Hingga tak menyadari berapa lama waktu yang kami habiskan untuk bercerita. Larut dalam nikmatnya pemikiran-pemikiran yang mengalir deras dalam setiap kata yang kami ucapkan. Lalu tanpa disadari seberkas cahaya terang muncul dari sisi atas, yang membuat seisi tong pengap itu berubah menjadi terang bercahaya. Yang semula samar-samar gelap menjadi jelas terlihat. Dan kini wajah-wajah setiap wujud yang berada dalam tong itu Nampak jelas. Ya, aku bisa melihat semuanya. Bahkan sebuah wujud yang terbuat dari metal ringan, yang biasa kudengar bernama ‘alumunium’ terlihat jelas dihadapanku. Ia bersendawa dengan keras saat aku menatapnya. Mungkin akibat soda coklat yang menguap dari sisa-sisa cairan didalamnya. “hoookk…” si wadah metal itu menguap, hingga suaranya mengelegar memenuhi seisi tong. Dan aroma ‘coke’ tercium kuat dari mulutnya.

Tangan-tangan besar milik manusia-manusia berbaju oranye itu mulai liar mengacak seisi tong, sambil satu persatu tangan mereka lincah menari mememungut setiap wujud kami. Botol soda berleher panjang, baju indah nan berisik dari bungkus sebuah camilan kentang goreng, dan juga si aluminum yang berisi aroma ‘coke’ pun tak luput dari tangan mereka. Wujud kami diangkat satu persatu keluar dari tong. Saat wujud kami terangkat, sekilas kami bisa melihat kembali riuh dan ramainya seisi kedai minuman cepat saji itu. Kursi serta beberapa meja yang berderet dan berpola rapi, dengan beberapa manusia-manusia yang anggun dan gagah, bersilang kaki serta saling berlempar senyum dan tatap. Yang pada akhirnya semua itu menjadi pemandangan terakhir, sebelum aku masuk pada sebuah bak truk yang penuh dengan bermacam wujud yang serupa ataupun yang berbeda  denganku.

Sementara itu didalam bak truk  besi baja yang penuh sesak, serta jauh lebih pengap  dibanding tong hijau kedai minuman siap saji, aku mulai merasakan truk itu berjalan. Perlahan namun pasti, truk berjalan beberapa saat kemudian berhenti disuatu tempat dan mengisi kembali bak truk tersebut dengan wujud-wujud yang serupa denganku. Begitu seterusnya hingga akhirnya truk tersebut berjalan kembali tanpa berhenti. Suara mesin diesel dari truk meraung dengan keras, seolah-olah menjadi musik pengiring bagi kami yang akan menuju tempat penghabisan. Ditambah lagi suara decitan sendi-sendi baja pada bak truk yang beradu, membuat suasana menjadi dingin dan tegang.

“siapkan dirimu gadis muda, waktunya sebentar lagi akan tiba” kataku kepada si polimer merah bening itu.

Ia tak menjawab, selain mengangguk tanda mengerti. Tak terlihat lagi raut wajah takut yang tergambar padanya, selain keberanian menghadapi takdir yang sebentar lagi akan diterima. Aku merasakan keberaniannya itu menular dan menghinggapiku, setelah ia sekejap tersenyum.

Kurasakan laju truk perlahan berkurang, kemudian berhenti disertai bunyi suara rem yang berdecit. Sesaat suasana menjadi hening, namun tak lama berselang sebuah suara sebagai penanda berbunyi. Seketika kami merasakan bahwa bak truk yang kami tumpangi mulai bergerak berubah posisi. Perlahan bak truk tersebut terangkat keatas pada sisi yang lain seirama dengan suara penanda yang keluar. Sehingga bak truk tersebut dalam posisi yang miring, lalu membuat wujud-wujud kami mulai kehilangan keseimbangan serta mulai berjatuhan menuju sisi terendah. Kurasakan wujud-wujud lain menimpaku, tubuh kami saling berhimpit dan tak jarang saling menjepit satu sama lain. Suara berubah menjadi riuh dan ramai, suara teriakan ada dimana-mana. Ada yang berteriak karena benar-benar takut, ada juga yang berteriak karena benar-benar ingin melepaskan ‘sesak’ yang memuncak padanya. Sementara aku dan polimer hanya si merah bening hanya diam, meski sedikit tegang dan rasa takut sedikit datang.

Sementara itu lidah api liar menjilat segala sesuatu yang muncul dihadapannya. Mereka menari-nari didalam tungku yang amat besar, hitam legam karena asap dan jelaga jelas terlihat dari warna tungku yang berdiri tegap dan kokoh itu. Menanti siapa saja masuk kedalam mulut besarnya, untuk dilumat bersama lidah-lidah api yang merah menyala. Tak terkecuali aku serta wujud-wujud lain yang mulai gerah kepanasan didalama bak truk.

“Brak” suara pintu bak truk terbuka. Sekonyong-konyong, tubuh kami meluncur bebas kedalam mulut tungku perapian itu. Teriakan teriakan kematian lebih keras terdengar, yang pada akhirnya hilang lenyap seketika karena dilalap sang Api. Aku pun terkejut, aku tak mengira akan masuk kedalam tungku perapian yang menyala-nyala itu. Bukannya aku harus masuk kembali kedalam mesin peleleh untuk di molding kembali? Ini jelas pemusnahan sejati! Pikirku demikian.

Seketika kurasakan lidah-lidah api menjilati wujudku, lalu panasnya membuatku cair dan mengalir pada dasar tungku. Cairanku pun menyatu dengan cairan-cairan dari wujud yang lain, dan tak bertahan lama aku merasakan panas yang ada, membuat partikel-partikel tubuhku menguap memisah dengan ikatan-ikatan yang lain. Sukmaku melayang-layang terbang mengelilingi seisi tungku, lalu melaju melalui sebuah cerukan pipa cerobong yang panjang  dan pergi bersama asap hitam yang pekat, keluar dan menjauh menuju angkasa luas. Akupun terpejam merasakan sukmaku menghilang terbang di awang-awang, yang dihembuskan oleh gerombolan angin musson yang datang dengan kesejukan dan kelembaban. Tak kurasa lagi sakit karena penghabisan, tak ada lagi rasa sesal karena dicampakan. Semuanya sirna dan musnah  bersama angin-angin yang terbang lalu menghilang.

Karena sejatinya aku tidak pernah bisa diciptakan, apalagi dimusnahkan.. 
aku hanya berpindah dalam wujud dan bentuk yang lain..
karena akulah semangat itu..
 

 

Comments

Post a Comment

terimakasih telah membaca tulisan ini, saya sangat senang bila anda berkenan meninggalkan jejak. salam

yang lain dari getah damar