cerita pendek; kisah nestapa asmara pur dan siti
"Atas Nama-nya Cinta"
Pur masih sibuk dengan gawai,
berulang kali ia mengerakkan jari-jarinya dengan lincah diatas layar, mengeser
ke atas dan bawah, Sambil perlahan ia merasakan hawa dingin malam mengendap
pelan menusuk tulang. Lalu diisapnya
lagi kretek yang tersisa sebatang sebagai
senjata melawan dingin. Rasa nikmat dan hangat asap masuk kedalam paru menggumpal didalam dada, lantas dihembuskan
keluar melalui rongga mulut dan hidung. Asap pun liar berhembus menyebar
kesegala arah, berbaur bersama dinginnya malam yang menemani wajah kusut Pur,
yang rasa-rasanya berapa batang pun tak akan cukup menghalau dingin dan
resahnya.
“Ah..” gumamnya dalam hati yang
sedikit mengeluh pada dingin malam. Sambil matanya masih saja melirik sebotol
kaca yang sedari tadi dengan liar merayunya manja, mengoda untuk sedikit
mencicipi isinya yang kelu itu. Ia masih menahan-nahan dengan bimbang untuk
tidak menengak isi dari botol kaca tersebut. Ya namanya juga manusia, hendak ia
berkilah bagaimanapun terhadap keadaan, tetap kalah juga batinnya, maka ditengaknya jua isi botol
kaca itu. Barang kali, sesloki sebagai teman dari sebatang kretek yang
dibakarnya agar tak melulu sendiri.
Bayang-bayang wajah Siti masih
menghantui isi kepala Pur. Beribu sesal,
kesal dan Marah rasanya masih mengiring perasaan dalam batinnya. Namun masih
kalah juga dengan sempalan cinta yang nyempil
dibalik dinding hatinya. Ya, Siti si Gadis manis yang menjadi separuh dari
dirinya selama lima tahun itu mengirimkan kabar yang menurut Pur adalah kabar
buruk. Namun bila kabar itu ditukar dengan para pria-pria resah diluar sana
maka bisa lain cerita, bisa jadi adalah kabar baik untuk menjadi seorang
laki-laki seutuhnya. Isi pesan singkat dari Siti dibacanya lagi, ia tersenyum
tipis lalu murung lagi. Dihisap dalam-dalam kreteknya yang tersisa tak ada tiga
centi, kemudian dijentikannya batang kretek tersebut lalu terlempar jauh entah
kemana.
“Mas, bagaimana? Aku Ngisi..” demikian sekilas isi pesan Siti
kepada Pur yang dikirimkannya melalui jejaring sosial dalam gawai. Tentu saja Pur
langsung menangkap maksud isi pesan dari Siti, memori ingatanya pun kembali
kepada peristiwa malam yang dingin tiga bulan lalu, dimana Desa yang terletak
pada kaki bukit itu menjadi saksi membuncahnya birahi Pur terhadap Siti. Entah
setan dari mana yang datang menghinggapi isi kepala Pur, berawal dari tatap
hingga jabat, meramu menjadi satu dengan dingin dan kabut nakal yang sengaja
membisikan pesan-pesan ‘liar’ kepadanya. Pur goyang, Siti meradang sesaat tubuh
mereka bergulat dalam kehangatan. Tak peduli lagi siapa aku siapa kamu, tak
diingat lagi siapa bapak siapa ibu, dan tidak diingat lagi kalimat-kalimat suci
pada baris “…..Jauhkanlah kami dari pada yang jahat…” yang ada hanya pikiran
buntu dalam kendali nafsu yang berpusat pada isi perut. Ya, Pur dan Siti telah
jatuh, mereka kalah. Ya, yang menang adalah mereka yang tertawa bahagia menanti
Pur dan Siti dengan senyum liciknya. Dan pada akhirnya takdir nestapa menjelma untuk
mengutuki nasib Pur dan Siti.
Beberapa panggilan keluar sibuk
lalu-lalang dalam log panggilan gawai si Pur. Ia bertanya pada kawan dan handai
taulan, barang kali ada kenalan untuk dukun beranak handal, ataupun
klinik-klinik gelap yang menyediakan jasa
‘Pijat Kandungan’. Pur sepertinya buntu, akalnya sehatnya telah hilang
entah melayang dimana, atau hanyut dibawa banjir syahwat yang menerjang.
Tuhanpun tak lagi dikenalnya, mereka berdua seolah-olah sepasang kekasih yang
sedang merajuk. Tak berbicara, saling membuang muka. Pur menghadap kiri, Tuhan
kekanan. Tak diingatnya lagi bahwa maha Pengampun itu pembuka jalan atas segala
kesusahan yang menimpa. Kereta-kereta yang berisi doa-doa dan mantra tak lagi
ada, mereka mogok, mereka susah karena Iman Pur telah diusir dari hatinya.
Gambar oleh Engin_Akyurt Pixabay |
Sloki terakhir ditenggak,
ketenangan semu pun didapat. Segera ia bergegas cabut, ditinggalkanya bangku
panjang itu lalu dikenakannya jaket kusam yang berwarna biru tua miliknya.
Dikayuhnya pedal stater motor tua yang selalu setia menemani selama ini
kemanapun ia pergi, entah sendiri ataupun bersama Siti. Tuas gas ditarik,
motorpun melaju membelah angin malam yang semakin pekat. Pur berniat menjemput
Siti, setelah didapatnya sebuah alamat Klinik bersalin ‘gelap’ yang didapat
dari seorang kolega, yang baru saja berkabar.
“pokoknya ini harus beres, aku harus bersih ia
juga bersih” gumam Pur pada dirinya sendiri.
Pur adalah pemuda yang penuh dengan gairah dan cita-cita, ia masih muda dan jalannya
masih panjang sebagai calon insinyur pada disiplin ilmu listrik dan elektronika
disebuah kampus swasta ternama dikotanya. Ia tak ingin kecelakaan ini menjadi
sandungan atas cita-citanya, apalagi sampai tersiar kabar pada orang tua
dirumah. Pastilah sebuah bencana bagi keluarga besar, yang berharap tinggi pada
jalan studi Pur, agar ia kelak menjadi pegawai, pejabat ataupun peniaga
yang bergelar.
Motor tua Pur masih deras melaju, salip kanan
salip kiri jadi tarian Pur pada jalanan aspal yang berdebu. Sudah dirancangnya
kalimat-kalimat sakti dalam kepala untuk disampaikannya pada Siti. Tekad
gelapnya sudah bulat, Ia tak ingin jadi seorang bapak atas sijabang bayi yang
sedang dikandung dalam Rahim Siti, yang menurutnya sendiri, ia terlalu
dini untuk menjadi seorang bapak.
Pedal rem diinjak, laju motor
perlahan berkurang lalu berhenti pada sebuah rumah indekost berwarna krem pucat,
didepannya tertempel sebuah plakat yang bertuliskan “Terima Kost Putri ”. Di selasar telah menunggu seorang gadis muda yang duduk pada sebuah
kursi kayu berwarna coklat tua, ia mengenakan daster motif bunga melati yang
dibaur dalam rupa batik. Dialah Siti, sang pujaan hati Pur. Siti bergegas
membuka pagar setelah motor yang
dikendarai Pur tiba, kemudian ia menghampiri Pur sang Arjunanya itu dengan
bercucur air mata, yang sedari tadi telah lama mengendap dikedua kantung
matanya.
Pur kesal, juga menyesal. Tak
kuasa ia melihat air mata Siti yang deras mengalir, ditambah lagi perut Siti
yang mulai kelihatan membesar karena berisi si jabang bayi.
“mas, aku gak sanggup kalau harus melakukannya, aku sayang mas, denganmu juga
anak ini” ujarnya dengan tangis deras mengalir.
Namun Pur tak bergeming, tekadnya
sudah bulat ia tak ingin hal ini ditunda lagi. Baginya semua masalah selesai
jika esekusi segera dilakukan.
“sudahlah dik, aku pun merasa hal
yang sama, tapi ada baiknya kita menunda isi perutmu itu dulu.
Aku masih harus
melanjutkan jalanku demikian juga denganmu.” Pur berkilah keras kepada Siti.
Air mata Siti makin deras
mengalir, ia Nampak tak kuasa dengan ucapan Pur yang keras itu. Bak disambar
petir disiang bolong ucapan Pur membuatnya lemah pasrah serta berdosa. Ingin saja
ia lari entah kemana, sampai tak ada satupun tahu jika ia sedang menyembunyikan
kesedihan dan dosanya yang berat, meski dirasa-rasa dosanya itu bisa jadi
anugerah bagi seorang wanita.
Siti pun menurut. Dikuncinya
pagar, dinaikinya motor Pur yang sedari tadi telah siaga untuk meluncur menuju
Klinik bersalin. Tangan kanan siti kuat mengikat pinggang Pur, sambil tangan
kirinya menahan perut beserta isinya agar nyaman jika motor berjalan. Pur dan Siti saling
bersilangan, Pur menghadap sejajar dengan muka motor sedangkan Siti menghadap
kesamping, duduk dengan posisi sebagaimana umumnya wanita bila diboncengi oleh
lelakinya. Ya, mungkin gaya duduk ini
bisa disebut gaya duduk feminimisme. lalu Motor pun kembali berjalan, suaranya
mengelegar memecah keheningan malam, menemani jalur roda nestapa Pur dan Siti.
****
Malam telah larut, ruangan empat
kali empat meter yang berada dipinggir kota itu nampaknya belum menyerah juga
pada malam. Dua orang wanita yang berselisih usia itu tampak sibuk menyiapkan
perkakasnya. Aroma medic menyeruak seisi ruang, dan hanya ada sebuah ranjang serta
meja kecil yang mengisi disudut kamar. Ditengoknya lagi jam dinding penuh
cemas, berharap-harap agar semuanya dilakukan pada waktu dan saat yang tepat. Selang berapa lama terdengar suara motor
mendekat, memecah keheningan malam yang menyelimuti klinik. Ya, suara itu
adalah suara motor Pur dan Siti yang telah tiba di depan. Maka bergegaslah
seorang dari dua wanita itu membuka pintu, mempersilahkan Pur dan Siti masuk.
diskusi singkat dengan Pur terjadi, sesaat sebelum mereka masuk kedalam.
Pintu dikunci, tirai jendela
ditutup. Tanda operasi besar akan dilakukan. Ya ini illegal, hanya klinik gelap
yang nekat melaksanakan operasi ini. Tentunya dengan imbalan yang cukup besar
untuk mengurah isi perut Siti. Siti pun
naik ke ranjang, dua orang wanita itu sibuk lalu-lalang menyiapkan operasi yang
dirasa akan menjadi malam yang panjang bagi mereka, Siti dan tentunya Pur. Air
hangat telah siap dengan mantap, kain-kain kasa, serta beberapa gunting medis juga telah berada pada
tempatnya. Pur berada pada sisi yang lain dari ruang tersebut, terpisahkan oleh
tirai gorden berwana hijau tosca sebagai pembatasnya. Meski demikian, ia masih bisa
mendengar setiap aktivitas yang sedang berlangsung disana.
Lalu mata siti setengah terpejam,
setelah dirinya diberi anastesi pada beberapa bagian. Mereka bekerja,
tangan-tangannya mengurut perut Siti keatas dan bawah berulang-ulang. Siti
merasakan separuh dirinya melayang, ia mengelinjang, dirasanya antara buang
hajat besar dan kecil seolah tak ada beda. Lantas Ia merasa sebuah logam dingin
merogoh rahimnya. Logam itu bergerak lembut seolah-olah sedang menari gemulai
dalam perut Siti, bergerak seperti mencari sesuatu, namun justru rasa sakitlah
yang dirasakannya. Ia terkejut, perlahan efek bius yang semula menenangkan
perlahan menghilang. Kemudian tak ada lagi mati rasa, yang ada hanya rasa sakit
yang menjadi-jadi. Siti tersadar, ia menjerit kesakitan. Lalu pelan namun
pasti, logam dingin itu keluar menarik
orok yang ada dalam perutnya, Siti pun mengerang sejadi-jadinya. Ia merasa
sekujur tubuhnya dikuliti, tulangnya terasa ngilu seperti dirajang pedang.
Darah segarpun mengalir deras dari rahimnya, mengucur terus menerus tanpa
henti.
Wanita-wanita itu pun panik,
darah yang mengalir dari tubuh Siti tak berhenti. Maka dilakukanlah segala
upaya untuk menghentikan pendarahannya namun tak berhasil juga. Mulai dari
bekap sana-bekap sini, suntik sana suntik sini, dan beribu cara lainnya namun hasilnya
tetap sama Nihil. Para wanita itu pasrah akan nasib Siti karena tak banyak yang
bisa dilakukan selain menerima kenyataan bahwa takdir berkata demikian.
Siti dingin, tubuhnya lemah berdarah. Ia merasa melayang-layang, mungkin
jiwanya sudah hendak berpindah ke langit juga. Pikirannya sekelebat teringat
kenangan masa kecil, kenangan saat ditimang dan dibuai oleh ibu, teringat pula
wajah bapak yang senantiasa menjadi
pelindung, serta seluruh ingatan masa kecil yang mengerak dalam memorinya
menyeruak keluar. Nafasnya mulai tersengal pelan, lambat laun payah, payah
sekali Ia bernafas, otot-otot pada diagfragmanya sudah tak mampu lagi memompa
parunya untuk mengembang dan mengempis mengambil udara untuk melanjutkan asa,
untuk melanjutkan hidup.
Siti berpulang, Pur pun tak mampu
lapang. Disekanya juga air matanya yang menetes jatuh saat melihat sang pujaan
hati telah lemah tak bernyawa. Tak mampu juga ia menyalahkan wanita-wanita itu
ataupun keadaan akan kesialan yang menimpanya. Ya, karena Kesialan yang diciptakanya sendiri. Selain meratapi
diri penuh gertak siang dan malam sepanjang hidup, hingga akhir hayat untuk
menanggung dosa yang ia perbuat. Maka tertawa bahagia lah mereka yang sedari
tadi mengamati hajat yang di suguhkan Pur, senanglah mereka menanti Pur untuk bergabung bersama ditempat mereka
yang Jahanam.
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteTerharu, semangat nulisnya
ReplyDeletemakasih, semoga menghibur
Delete