Rima tak bernada

"Hilang dibawa Angin"

Aku menatap lalu-lalang kendaraan yang melintasi aspal hitam dihadapanku. Kendaraan   bertanda AG dan N mendominasi jalanan tersebut, meski sesekali beberapa kendaraan bertanda L melintas.


Sirna dan angkasa.

Dan aku masih terduduk dibawah  pondok bambu, tempat para buruh lepas biasa mengantri, menanti waktu untuk menurunkan pasir tiba. Tapi sore itu kosong. Tiada siapapun. Yang ada hanya sekilas memori tentang berbagai peristiwa tujuh-belas tahun lalu.

Kembali aku berusaha mempertegas garis-garis ingatan masa lalu yang mulai memudar. Terkait kawan lama. Kelu, sesak. “masih ingat kah kalian?” yang terlampau berani untuk mandi bersamaku pada sungai-sungai coklat tanah yang berarus deras itu?

Sesekali boleh kah kita kembali pada sepetak tanah lapang dikaki gunung ‘selayu’, yang terlihat lebih seperti bukit, dibanding gunung. Untuk kembali bersama menyepak bola karet kita yang usang itu. Hanya untuk mengingat kita pernah merasa yang paling hebat diantara kembang-kembang tebu yang berterbangan kesegala arah karena tertiup angin, dibawah kaki gunung ‘selayu’?

Ah, atau kalian yang terlampau nakal terhadap ‘belik-belik’ sumber air pada sawah milik desa yang kita sumpalkan seikat rumput pada salurannya? Sehingga air menggenang penuh bak kolam fantasi jaya ancol, sehingga kita dapat berenang didalamnya. Dan berhenti saat petani-petani tua marah, karena kita mengotori sumbernya.

Sudahlah, kudengar beberapa dari kalian sedang bernasib baik. Kau San, kudengar kau baru saja meminang ‘juwita’ manis pilihanmu. Gadis manis dari perkebunan teh Sirah kencong. Atau kau Wak, lama sekali kau tak berkabar. Kulihat kau telah mengendong seorang putri mungil nan manis didekap dadamu. Peluk lah ia dengan hangat, jangan kau tinggal main karambol atau berjudi ding-dong dikala senggang. Payalah ia jikalau kau tiada disampingnya. Dan kau jangan terlalu keras bekerja, sehingga lupa kalau ‘simungil-mu’ butuh hati untuk disesapi isinya. Ah, itu untuk kalian yang bernasib baik. Tidak dengan Zal, kudengar ia nyaris ditimpuk batu oleh orang sekampung, karena ‘dungilnya’.

Dan biarkan aku bersama Can, yang tak sedang mendapat apa-apa, dan tak sedang bersama siapa-siapa. Kami hanya menikmati senja dimasa muda, yang melihat sinar sirna, menuju temaram yang berganti datang, dibawa lamunan rumpun bambu diseberang jalan.

Ya, biarkan aku dibunuh nestapa, yang datang saat rupa dan rona peluh kalian terlintas dalam otak. Biarkan aku merindu, rindu akan ketidaknyamanan itu sobat.

Comments

yang lain dari getah damar