catatan perjalan yang fiksi : mendaki menuju puncak arjuna


"Hilangnya para Srikandi di Puncak Sang Arjuna : Puncak Sang Pencari Cinta"

Tanah, penyimpan berjuta unsur hara, penampung air, dan  penopang kehidupan. Aku adalah tanah, akan kembali menjadi tanah, lalu  membumi. Menyatu bersama sari-sari alam, melebur bersama dalam kesenyapan.

Demikianlah bunyi dari sebuah monolog tentang rasa. Dari berbagai kompilasi rasa yang padu, saling beradu pada batin-batin yang berada pada persimpangan.

Dan dengan hal itu, kuputuskan untuk mengawal dua srikandi terakhir menuju puncak Sang Arjuna, puncak sang pencari cinta. Dari pada  beradu sengit tentang hidup dengan dinding kamarku yang menyebalkan, atau sedikit bermesraan dengan kasur empuk nan mulus yang senantiasa mengodaku untuk merebahkan badanku sejenak padanya, dan ditemani bantal serta guling  yang tentu lebih nyaman dari apapun.

Bukan Srikandi : foto ini hanyalah pengantar catatan perjalanan,
 jika menciptakan kesan nyata, itu hanya kebetulan semata.

Karena tinta hitam yang telah kuteteskan pada selembar kertas putih, dimasa yang  lampau, yang membuatku memiliki sebuah hutang budi pada sang Srikandi. Tak sampai hati rasanya bila hendak mengoyak lembaran demi lembaran yang telah ternoda itu, dengan mencampakan ataupun membuangnya keperapian, sebagai tanda pembersihan atas rasa kelam yang pernah tergores.

Karena hakekatnya hidup adalah pendakian. Berjalan menapaki lembah, menyusuri rimbunnya hutan, hingga perjalanan panjang yang berakhir pada puncak tujuan hidup kita masing-masing.

Ya, kupahami itu, sambil langkah kakiku tak henti berjalan, seraya kabut tipis perlahan turun dari lereng-lereng Arjuna. Menyambutku seolah-olah menari, tarian selamat datang, bak tamu kehormatan kenegaraan. Srikandiku tetap berjalan dengan tegap nan anggun, sembari menahan setiap beban bawaan yang ada pada mereka.

Beberapa pujangga dari negeri  antah-brantah turut menemani perjalananku menuju puncak Sang Arjuna. Beberapa diantara mereka adalah yang  senantiasa tertawa, beberapa diantaranya  yang sering menangisi malam yang tak kunjung datang, bahkan ada juga yang selalu tersenyum disaat kabut asap senja datang menghampiri. Para pujangga yang bersamaku akan menghasilkan karya terbaiknya saat hujan datang, yang beradu cepat dengan kabut tipis  yang berada pada  dilembah tinggi.

Bukan Pujangga : Sekali lagi, para lelaki pada gambar diatas bukan lah seorang Pujangga.

Sementara itu Suara nafas yang terengah-engah terdengar lebih keras, keringat terus mengucur deras membasahi tubuh. “untuk apa semua ini? Sia-sia!” begitulah tampak sementara yang kubaca dari wajah-wajah Srikandiku. Wajah murung yang mulai kusam, bibir mereka yang semula merah pun memudar menjadi kelabu, sepekat kelabu pada awan dan kabut yang lalu-lalang diatas kami.  Nampaknya liptint yang mereka gunakan pun tak akan mampu menutupi beribu-ribu sesal dan kesal, yang terlihat pada bibir dan wajah mereka.

“sudah nikmati saja.” Aku bergumam pada diri sendiri. Ya, rasanya telah kupikir berulang-ulang untuk tidak mengucapkan kalimat itu langsung pada sang Srikandi. Aku sadar, bahwasanya dalam kondisi lelah, mereka pasti tidak akan menerima apabila ku utarakan kan kalimat itu, apalagi dengan gayaku yang terkesan sedikit feodal dalam berbahasa dan bertutur selama ini, tentu saja akan membuat mereka dongkol.

Kaki-kaki kecil kami masih dengan sabar menyusuri dan menapaki jalur yang mengarahkan kami menuju puncak sang Arjuna. Pujanggaku terlampau tangguh untuk itu semua. Tapi tidak untuk Srikandi-Srikandiku, lelah dan kesal masih tergambar jelas. Aku hanya tersenyum, berusaha menguatkan  diriku dan mereka, sambil memandang jauh pada kabut-kabut tipis yang menari-nari dengan indah, karena tersapu angin. Anganku pun kembali kepada setahun, dua tahun, tiga bahkan empat tahun yang lalu. “siapa Aku?”, “untuk siapa Aku hidup?”, “lalu apa yang akan terjadi denganku didepanku nanti?”. Ah sudahlah, hidup ini untuk dijalani, bukan untuk disesali. Sedikit membangun mimpi dan konsep untuk masa yang akan datang jauh lebih baik, dibanding harus meratapi dan menangisi masa lalu.

Titik-titik air mulai jatuh dari langit, sepertinya dikirim Sang Hyang untuk kami. Segera aku, para Srikandi serta Pujanggaku menggunakan Ponco plastik andalan kami. Aku sendiri menggunakan ponco hijau kepunyaanku. “Puncak !” salah satu Pujanggaku berteriak dan menunjuk tongkatnya kearah depan. Segera para Pujanggaku bergegas kesana dengan penuh semangat. Selain itu, mereka harus sampai terlebih dahulu di puncak untuk mempersiapkan pelaksanaan ritual bagi para Srikandi.

Ya, perjalanan Srikandiku ke puncak Sang Arjuna bukan tanpa sebab, mereka diharuskan menempuh perjalanan ini, sebagai pembuktian diri bahwa mereka telah cukup cakap dalam menjalankan ilmu-ilmu dasar manusia dan kemanusiaan, yang telah mereka dapatkan pada empat matra yaitu, Gunung tinggi, Sungai deras, Goa terdalam, serta Tebing tinggi nan Cadas. Yang telah dilaksanakan pada bulan-bulan basah yang telah berlalu.

Langit menjadi gelap seketika, suara Guntur bergemuruh, saat setibanya kami di puncak Sang Arjuna, puncak para Pencari Cinta. Srikandiku menyandarkan badannya pada batu-batu yang berdiri kokoh pada puncak, merehatkan sejenak badannya, sambil menikmati cemilan dan kudapan yang dikemas dengan lembaran-lembaran kresek yang berisik. Tak lupa juga, beberapa dari Pujanggaku memasak air untuk menyeduh minuman hangat dan memasak beberapa mie instant kuah, yang rasa-rasanya sangat nikmat bila disantap saat gerimis datang. Kami semua bersembunyi dibalik batuan besar, untuk menghindari dingin yang dihembuskan oleh angin-angin yang sibuk berlalu-lalang disekitar kami, seolah-olah berlaku usil untuk sedikit mengoda kami yang kedinginan olehnya.

Selepas mengisi tenaga dengan menikmati cemilan dan minuman, bersiaplah para Srikandiku untuk melakukan ritual. Salah satu Pujanggaku memimpin upacara tersebut dengan sakral dan penuh kuasa magis. Dibukanya caping petani yang dibawanya, diisikannya dengan gulungan-gulungan kertas yang bertuliskan angka-angka, yang aku sendiri sedikit bingung melihatnya. Sementara itu para Srikandiku melakukan syarat ritual dengan meniarapkan badannya menghadap tanah, dengan melakukan gerakan berulang selama duapuluh kali, kemudian duapuluh kali lagi yang kedua, kemudian duapuluh kali lagi yang ketiga. Aku hanya mengamati ritual mereka dari kejauhan, dengan sedikit menangkap moment tersebut, dengan sebuah kotak kamera yang dibawa oleh Srikandiku, kutangkap moment itu dalam beberapa kali waktu.

Bukan Ritual : dan ini juga bukan bagian dari ritual, mereka sedang hanya sedang arisan, dan yang menang berhak mendapatkan sebuah mug cantik.

Pujanggaku meneng-ngadahkan capingnya kepada para Srikandiku, bergantian mereka mengambil gulungan kertas dari dalam caping tersebut. Seketika bumi bergoncang dengan keras ! bebatuan  yang kokoh disekitar kami berjatuhan, gemuruh angin dan guntur beriringan mengacaukan suasana sore itu. Kilatan petir muncul bergantian seolah-olah menghardik kami. Srikandiku ketakutan, rambut-rambut mereka yang hitam legam terurai, tiba-tiba saja dengan sendirinya terangkat keatas. “Listrik statis!” teriakku. Para Pujanggaku kebingungan, tak mengerti apa maksud dari semua ini. Doa-doa suci pun akhirnya mereka panjatkan. Aku mendengarnya sedikit aneh, bahasa arabkah? Jawakah? Atau bahkan bahasa sansekerta yang mereka ucapkan. Aku sendiri berlindung dibalik salah satu batu yang masih kokoh berdiri, meniarapkan badanku untuk menjadi lebih rendah dari amukan badai yang datang,  sambil mengucapkan doa-doa yang kuyakini sendiri.

Tiba-tiba sebuah cahaya putih bergaris lurus datang bersama kabut tipis mengelilingi Srikandi-srikandiku. Demikian juga dengan pujanggaku. Cahaya itu mengitari berulang-ulang hingga tubuh mereka terangkat ke langit. Pelan tapi pasti, cahaya yang disertai dengan angin dan kabut tipis lembut membawa tubuh para Srikandi dan para Pujangga. “Moksa!” aku berbicara pada diriku sendiri. Aku berlari mengejar mereka, namun seketika juga tubuhku dihempaskan oleh hembusan angin yang mengitari mereka. Sekuat tenaga berusaha kuraih kaki, tangan, dan tubuh mereka, sekuat itu juga hembusan angin menghempaskan tubuhku. Aku menangis sejadi-jadinya, kuremas kerikil-kerikil disekitarku kulemparkan kesegala arah, sebagai pelampiasan amarahku. Sambil aku mengucapkan serapah kepada sang Hyang, sementara itu tubuh para Srikandi dan para Pujangga perlahan mulai tak Nampak, dan menghilang keatas langit.

Tubuhku rebah menghadap tanah. Seakan tak percaya Srikandiku menghilang. Berjuta pikiran macam-macam menari-nari dalam otakku, yang memunculkan berjuta-juta pertanyaan pula. “bagaimana tanggung jawabku?”, “apa yang harus aku sampaikan pada orang-orang sekembalinya aku nanti, tentang Srikandi-srikandiku?” aku bingung, ingin kumati saja rasa-rasanya.

Tiba-tiba tubuhku terguncang dalam pejamku meratapi diri. Tak berapa lama kudengar sebuah bisikan yang semakin lama semakin kuat terdengar. “ Mas, mas,…. Mas Adi, tangi mas wes jam pitu seperapat, wayahe ketemu dosen.” Sontak aku terkejut lalu terbangun. Sial ! ternyata aku dibuai lamunan mimpi! Nani, adik perempuanku membangunku pagi itu.

Ah, kulemparkan bantal dan gulingku yang semula kudekap erat itu ke sudut ranjang. Dan bergegas mandi, sambil memikirkan sejuta revisi skripsi dikepalaku yang diselimuti gerah rasa erros mengkasar.


Bohong : ceritanya foto keluarga cemara. dari bapak, dan ibu yang berbeda. semoga rukun ya.



sekian,

tulisan ini didedikasikan untuk orang-orang yang rela berjuang dalam segala hal.
termasuk memperjuangkan tanggung jawab, komitmen, serta mimpi-mimpinya.

Manusia hidup karena Manusia yang lain. 
                 -homo homini socius-

Comments

  1. Cerita seorang mahasiswa yang terlanjur mengucap kata mampu berjuang digarda terdepan untuk melanjutkan perjalanan dengan membawa rumahnya agar dapat menjadi sebuah tempat nyaman yg menghadirkan banyak orang-orang sadar dan peduli. Terimaksih saudara teruslah berkarya. Kata seniorku tak ada amalan yg lebih baik daripada ilmu yang bermanfaat.. Giras sampai tuntas or tabah sampai akhir dan tak ada tugas yg tidak selesai karena kita adalah seorang Pecinta Alam

    ReplyDelete
  2. Inspiratif, imajinatif, konsisten juga resisten, pendetailannya mengagumkan meski redaksional belum cukup teliti, overall surprizor

    ReplyDelete
  3. Kirain bakal naek ke khayangan eh keburu bangun wkwk. Mantap lurr

    ReplyDelete

Post a Comment

terimakasih telah membaca tulisan ini, saya sangat senang bila anda berkenan meninggalkan jejak. salam

yang lain dari getah damar